"Meed nika tyang, Pak." ("Bosan saya, Pak.")
Sebuah jawaban singkat meluncur dari mulut si ibu. Ia juga bercerita sudah menjadi terbiasa dan tidak takut tinggal di kampung halamannya, walaupun bersetatus KRB. Perjalanan aku akhiri sampai mendekati jalan setapak menuju daerah agro wisata "Bukit Surga" di dusun Tanah Ampo yang masuk zona KRB III.
Balik dari perjalanan, aku susuri jalan yang tadinya kulewati. Semakin banyak kutemui masyarakat yang beraktivitas. Dagang-dagang semakin ramai. Beberapa penduduk mulai terlihat 'ngopi' atau bersantap pagi di warung-warung desa. Truk-truk pengangkut "mutiara hitam" mulai terdengar suranya di jalur sebelah timur, wilayah dusun Mumbul menuju Pengadangan. Berapa sahabat yang memang kukenal mulai kutemukan di sepanjang jalan. Ada yang sekadar "berselohai", ada juga yang bertegur sapa. Bahkan, ada juga yang mengajak bercerita dalam waktu yang lama. Perjalanan seorang diri menjadi semakin lama, namun mengasyikkan.
Melintas di depan sebuah warung di wilayah Jungutan, ada orang yang terdengar memanggil namaku. Ternyata, beliau sahabat lama sesama guru bahasa Indonesia, Ida Bagus Made Suta. Beliau telah menikmati masa pensiunnya pada Bulan Desember 2017 ini di SMP Negeri 1 Bebandem, tidak jauh dari "Griya" nya. Aku menghentikan langkah dan ikut duduk di warung tersebut, sambil bercerita berbagai hal termasuk dengan pemilik warung dan pengunjung lainnya.Â
Ida Bagus Suta mengatakan kalau dirinya tidak pernah ngungsi selama ini. Pengunjung warung lain mengatakan pernah ngungsi sesaat di Padang Bai dan memilih kembali. Sedangkan si pemilik warung mengaku masih berstatus sebagai pengungsi di salah satu banjar di wilayah desa Sibetan, namun pagi sampai sore tinggal di rumahnya, malam baru ke pengungsian. Desa Sibetan memang menampung ribuan pengunggsi dari daerah KRB III dan KRB II dari desa Jungutan. Desa Sibetan sendiri sesugguhnya adalah daerah kategori KRB I.
Kembali ke cerita dengan Ida Bagus Suta, dengan segala ketulusan Beliau "memaksa" membelikan saya "belayag-be siap mesanten"4. Â Makanan pavorit khas orang desa, yang diburu pula oleh orang kota. Pagi-pagi kunikmati rezeki yang datangnya sangat tidak terduga.
Perjalanan kembali untuk mencapai rumah harus diteruskan. Di depan Griya Ida Bagus Bueka aku berhenti. Mampir juga ke Griyanya sambil menikmati koleksi bonsai Beliau. Bonsai berjejer rapi memberikan kenikmatan bathin yang luar biasa. Cerita pun mengalir beberapa saat, karena Beliau sahabat lama semasa di SMP Negeri 2 Bebandem, sebelum aku kena mutasi setahun yang lalu. Sebuah bonsai cemara diangkatnya, dan itu katanya sebagai kenang-kenangan untuk diriku. Kembali sebuah rezeki datang melalui tangan-tanganNya.
Hari semakin siang, Giri Toh Langkir mulai menarik selimut. Wajah gagahnya mulai tenggelam di balik kabut. Aku beranjak pulang membawa rezeki. Pulul 09.45 sampailah aku di pondok. Bergegas kubuka bingkisan "belayag-be siap mesanten" yang kubawa. Menikmatinya dengan secangkir kopi "Ekson" produk Pak Oles, membuat inspirasiku mengalir untuk menumpahkan kisah perjalananku pagi ini. Terima kasih Hyang Widhi telah melimpahkan rezeki kepadaku melalui tangan-tanganMu yang baik hati.
Penjelasan istilah:
- Giri Toh Langkir: Sebutan lain Gunung Agung
- Pengalu tuak: Orang yang bisnis jual beli air nira
- Griya: Sebutan untuk rumah tinggal masyarakat Bali dari kasta Brahmana
- Belayag-be siap mesanten: adalah sejenis ketupat berbentuk memanjang yang dibungkus janur atau daun enau muda, lalu dicampur dengan daging ayam panggang yang direbus kembali dengan santan berbumbu pedas khas Bali.
#Sibetan, 27 Desember 2017#