Kasus Serupa: Fenomena Kekerasan Tenaga Kesehatan yang Berulang
Kasus di RSUD Sekayu hanyalah salah satu contoh terbaru dari rentetan panjang kekerasan terhadap tenaga kesehatan di Indonesia. Kenyataannya, insiden serupa sudah berulang kali terjadi di berbagai daerah dengan pola yang sama, yaitu dokter atau tenaga medis menjadi target kemarahan, penghinaan, hingga penganiayaan fisik.
Pada tahun 2024 lalu, di Gorontalo, seorang tenaga kesehatan Puskesmas Paguyaman bernama Taufik Nur dianiaya oleh oknum polisi hingga mengalami luka serius. Pelaku akhirnya divonis satu tahun penjara, tetapi ironisnya, korban justru kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan balik. Motifnya diduga pelaku merasakan kecemburuan terhadap korban. Korban yang diserang kala itu melakukan pembelaan diri, akan tetapi menurut pandangan ahli, Taufik Nur telah melakukan kekerasan. Kasus ini menunjukkan rumitnya perlindungan hukum bagi nakes, bahkan ketika mereka jelas-jelas menjadi korban.[8]
Kekerasan juga dialami oleh dua dokter magang di Puskesmas Fajar Bulan, Lampung Barat pada tahun 2023. Video viral memperlihatkan salah satu dokter dicekik dari belakang hingga jatuh ke lantai, sementara yang lain diseret dan dipukuli pasien yang tidak puas dengan pelayanan. Padahal, dokter tersebut sudah memberikan edukasi kepada pasien dan telah memberikan arahan sesuai standar. Kasus ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi korban dan memperlihatkan rapuhnya perlindungan nakes di layanan primer.[9]
Di Bandar Lampung terjadi kembali penganiayaan, di tahun 2023 seorang perawat RS Hermina mengalami penganiayaan brutal oleh keluarga pasien hanya karena menegur sebab telah melebihi batas waktu kunjungan di ruangan Intensive Care Unit (ICU). Korban diludahi, dicekik, dipukul bertubi-tubi hingga berdarah, dan harus menjalani opname. Kasus ini menegaskan bahwa kekerasan terhadap tenaga medis bisa terjadi bahkan di rumah sakit swasta modern di kota besar, bukan hanya di daerah terpencil.[10]
Kekerasan paling ekstrem terjadi di wilayah konflik, yakni di Amuma Yahukimo Papua. Pada Oktober 2023, lima tenaga kesehatan di Distrik Amuma, Yahukimo, Papua Pegunungan diserang oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Nakes tersebut ditendang, dipukul, bahkan diancam dengan membawa parang, busur panah, kapak, dan senjata api oleh 20 orang anggota KKB ketika sedang menjalankan misi kesehatan untuk mengatasi bencana kelaparan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa nakes seringkali berada di garis depan risiko, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka saat mengabdi di daerah rawan.[11]
Belum lama berselang, tahun 2024 lalu dr. Yordan Sumomba, seorang dokter di RSUD Lukas Enembe, Papua Pegunungan, juga menjadi korban penganiayaan. Ironisnya, pelaku adalah pejabat setempat yang memukul korban dengan balok kayu hingga menyebabkan patah tulang wajah dan memar parah di punggung. PB IDI mengecam keras tindakan tersebut, menyebutnya sebagai ancaman nyata bagi dokter yang mengabdi di wilayah dengan kondisi geografis sulit, keamanan minim, dan insentif rendah. Alhasil, insiden ini memperburuk krisis ketersediaan tenaga medis di Papua, karena banyak dokter enggan ditempatkan di sana akibat lemahnya jaminan keamanan.[12]
Kasus di atas baru sebagian kecil yang terungkap ke media, dari sinilah memperlihatkan satu pola besar yaitu kekerasan terhadap tenaga medis tidak mengenal tempat maupun pelaku. Dari puskesmas hingga rumah sakit besar, dari keluarga pasien hingga aparat dan pejabat, ancaman yang dihadapi dokter dan tenaga kesehatan nyata adanya. Fenomena ini membuktikan bahwa kasus Sekayu bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari persoalan nasional yang sudah lama dibiarkan tanpa solusi menyeluruh.
Data dan Fakta Lapangan: Masalah Universal yang Belum Terpecahkan
Saat ini Indonesia belum memiliki data nasional yang sistematis mengenai jumlah tenaga kesehatan yang menjadi korban kekerasan. Tidak ada basis data resmi yang mencatat berapa jumlah dokter, perawat, atau tenaga medis lain yang diperlakukan kasar, baik secara verbal maupun fisik, dalam melaksanakan tugas. Karena itu, penting untuk melihat gambaran dari berbagai negara lain sebagai cermin universal yang menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya milik Indonesia, melainkan fenomena global yang serius.
Menurut WHO, sekitar 8-38% tenaga kesehatan mengalami bentuk kekerasan fisik dalam karirnya, dan angkanya lebih besar lagi untuk kekerasan verbal. Sebagian besar kekerasan dilakukan oleh pasien dan pengunjung. Tenaga kesehatan yang terlibat langsung dalam perawatan pasien, staf unit gawat darurat, serta paramedis menjadi sasaran empuk kekerasan baik fisik maupun verbal. [13]