Salah satu pertimbangan yang memberatkan adalah kebijakan impor yang diambil Tom Lembong dianggap lebih mengutamakan sistem ekonomi kapitalis sehingga bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi dan nilai-nilai Pancasila. Kebijakan ini juga dinilai mengabaikan kepentingan masyarakat, khususnya konsumen gula kristal putih yang terdampak langsung.[3]
Pendapat Para Tokoh
Sejak persidangan hingga vonis dijatuhkan kepada Tom Lembong, berbagai tanggapan muncul dari pakar hukum, tokoh publik, hingga masyarakat. Mereka menyoroti kejanggalan hukum, potensi kriminalisasi kebijakan, hingga dampaknya terhadap kepercayaan publik pada sistem peradilan. Tokoh masyarakat seperti pak Anies Baswedan juga turut mendukung secara penuh Tom Lembong dan memberikan pendapatnya ke liputan masa.
Bapak Anies Baswedan mengatakan beliau mengecam keputusan vonis 4,5 tahun penjara terhadap Tom Lembong sebagai bentuk kriminalisasi politik. Ia menyatakan dukungannya penuh terhadap upaya hukum lanjutan yang ditempuh dan mendesak reformasi sistem hukum nasional untuk mempertahankan kepercayaan publik dan stabilitas demokrasi.[8]
Opini publik, terutama netizen di media sosial, menilai bahwa kasus ini lebih mencerminkan kriminalisasi kebijakan daripada korupsi nyata. Tagar #JusticeForTomLembong menjadi simbol protes atas ketidaklogisan hukum: tidak ditemukan niat jahat atau keuntungan pribadi, tetapi vonis tetap berlaku. Banyak yang melihat hukuman ini sebagai contoh ketidakadilan sistem hukum, dengan pertanyaan besar: jika Tom bisa terjerat, siapa lagi yang bisa menyusul?[9]
Dampak Suara Rakyat: Presiden Ajukan Abolisi untuk Tom Lembong
Kemajuan dari kasus Tom Lembong kemudian mendapatkan kabar yang berbahagia. Pada tanggal 30 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto mengajukan usulan atas Tom Lembong melalui Surat Presiden yang kemudian sepakat untuk disetujui oleh DPR pada 31 Juli 2025. Abolisi adalah hak prerogatif presiden untuk menghapus seluruh akibat hukum dari pengadilan, termasuk menghentikan proses hukumnya. Dengan itu, Tom Lembong dibebaskan sepenuhnya, tanpa sisa hukuman ataupun tuntutan lanjutan.
Disampaikan bahwa keputusan abolisi diberikan sebagai bagian dari momentum peringatan HUT RI ke-80 dan atas pertimbangan untuk memperkuat kesatuan nasional. Pengacara Tom Lembong menyambut baik putusan abolisi dan menegaskan bahwa proses hukum sebelumnya telah dihentikan. Dengan abolisi ini, sudah dipastikan Tom Lembong dinyatakan bebas dari keseluruhan hukuman dan putusan kejahatan, yakni divonis 4,5 tahun penjara yang kini tidak pernah terjadi secara hukum.[10,11]
Penutup
Kasus Tom Lembong mencerminkan potensi kriminalisasi kebijakan di tengah lemahnya integritas sistem hukum. Penetapan tersangka secara mendadak tanpa transparansi, tuduhan korupsi tanpa keuntungan pribadi, hingga perbedaan data produksi gula yang dijadikan dasar vonis menunjukkan bahwa proses hukum berlangsung terburu-buru dan bias. Vonis terhadap Tom dinilai lebih bersifat politis ketimbang yuridis, hingga memunculkan kritik luas dari publik dan tokoh nasional. Abolisi dari Presiden Prabowo memang membebaskan Tom secara hukum, tetapi tidak serta-merta menghapus jejak kerusakan kepercayaan publik terhadap penegakan keadilan di Indonesia. Jika kebijakan bisa dikriminalkan, siapa pejabat yang masih berani mengambil keputusan hari ini? Dan jika hukum bisa dibelokkan oleh kekuasaan, apa bedanya kita dengan rezim yang dulu kita tolak?Â
REFERENSI