Ketidaksesuaian fakta produksi gula dalam persidangan
Dalam proses persidangan, terdapat ketidakselarasan antara argumen jaksa dan fakta yang disampaikan oleh saksi. Jaksa menyatakan bahwa Indonesia mengalami kelebihan produksi gula pada tahun 2015-2016 sehingga impor tidak diperlukan. Namun, dari saksi Kementrian Pertanian justru menyebut bahwa pada periode tersebut Indonesia mengalami defisit gula sebesar 177 ribu ton. Data dari USDA bahkan mencatat bahwa produksi gula nasional hanya 2,05 juta ton, jauh di bawah kebutuhan yang mencapai 5,6 juta ton. Ketidaksesuaian ini menimbulkan keraguan terhadap dasar logis yang digunakan hakim dalam memutus perkara.[5,6]
Pembelaan oleh Tom Lembong dan Kuasa Hukum
Vonis Jaksa untuk Tom Lembong didasarkan atas tindak pidana korupsi. Tom dinilai merugikan negara sebesar Rp 515,4 miliar atas keputusannya untuk mengimpor gula melalui sejumlah perusahaan swasta yang tak berhak. Selain itu, Tom dinilai telah memperkaya orang lain, dalam hal ini adalah korporasi swasta. Hal ini menjadi dasar putusan untuk menetapkan Tom Lembong sebagai andil korupsi. Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menegaskan bahwa Tom tidak menerima keuntungan apapun dan tidak mempunyai niat jahat atas tindakannya. Selain itu, kerugian negara yang diklaim Rp515 miliar dianggap spekulatif dan hasil audit yang berlebihan. Tim kuasa hukum menolak angka tersebut sebagai perhitungan hipotetis bukan kerugian nyata. Tom juga menyatakan bahwa Ia tidak mengenal orang-orang yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Tom menegaskan bahwa bagaimana mungkin Ia secara sengaja merugikan negara dan menguntungkan kelompoknya jika Ia sebelumnya tidak bertemu mereka sebelum kasus yang menimpanya. Â [7]
Dasar Hukum yang Diterapkan untuk Menjerat Tom Lembong
Dalam putusan resminya, majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong terbukti bersalah melanggar dua ketentuan hukum utama berikut:
Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Pasal ini mengatur tentang perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum, yang dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan. Dalam kasus ini, meskipun tidak ditemukan keuntungan pribadi yang dinikmati oleh Tom, hakim menilai bahwa telah terjadi pengayaan terhadap korporasi swasta akibat kebijakan impor yang dikeluarkannya, sehingga unsur pasal tersebut dianggap terpenuhi.[3]Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal ini mengatur bahwa mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana sebagai pelaku. Tom dinilai telah bertindak bersama-sama dengan pihak lain dalam proses pengambilan kebijakan impor yang melanggar hukum sehingga dapat dijerat sebagai pelaku bersama.[3]
Pertimbangan yang Meringankan:
Tom Lembong belum pernah mendapat hukuman sebelumnya. Mantan Menteri RI ini juga terbukti tidak menikmati hasil tuduhan korupsinya. Beliau juga sangat kooperatif saat dalam persidangan.[3]
Pertimbangan yang Memberatkan: