Mohon tunggu...
Renita Yulistiana
Renita Yulistiana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

I wish I found some better sounds no one's ever heard ❤️😊

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Perempuan dari Film Yuni dan Duo Kribo

19 Desember 2021   23:23 Diperbarui: 19 Desember 2021   23:38 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini hanya tulisan biasa saja, sebuah opini orang awam usai menonton film---yang kebetulan juga perempuan. Saya akan membuatnya jadi tiga bagian: prolog, isi, penutup.

Prolog - Pendidikan
Dalam tangkapan saya, Film Yuni mengingatkan pada tradisi kawin tangkap, kawin anak, dan pernikahan dini. Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya Girls Not Brides menemukan data, bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun. 

Kemudian, Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS tahun 2017 juga menunjukkan presentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin di bawah usia 18 tahun sebanyak 25,71 persen. 

Melihat aspek geografis, tren angka perkawinan anak dua kali lipat lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Seperti gambaran film ini yang mengangkat latar Serang, Banten. Saya penasaran, kenapa hal ini bisa terjadi?

Jurnal KSM Eka Prasetya UI, 2019 membahas bahwa ada tiga faktor yang menjadi alasan pernikahan dini: Ekonomi, Pergaulan Bebas, dan Pendidikan. 

Saya tertarik membahas soal pendidikan. Dalam Film Yuni, memang tidak disajikan secara gamblang bagaimana sistem pengajaran. Jadi, saya menyoroti sosok Bu Lilis saja.

Bagi saya, ia pendidik yang dibutuhkan di setiap Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/K). Pun akhirnya menyerah karena "tradisi", tapi upayanya sangat mengagumkan. Pada umumnya SMA itu kondisi krusial, sebuah cikal bakal penentu masa depan. Pendidik dalam pandangan saya harusnya menjadi nyawa penolong bagi siswa yang punya, bahkan putus mimpi. Apalagi siswa perempuan yang tinggal dalam stigma, "Perempuan itu buat apa sekolah tinggi-tinggi? Perempuan itu tugas utamanya hanya di dapur dan kasur."

Dugaan saya, pernikahan dini bisa muncul karena para siswa gamang menentukan langkah lanjutan setelah mereka lulus tingkat menengah atas. Khususnya, mereka yang memiliki akses pendidikan di luar perkotaan. Hal ini bisa terjadi karena pihak sekolah yang pasif. 

Seperti tidak adanya sosialisasi yang jelas dan pendampingan soal perguruan tinggi hingga ke akarnya: mulai dari pendaftaran, pembuatan akun, pemilihan jurusan, biaya, cara mendapat beasiswa, timeline ujian, dan sebagainya. Sehingga, banyak anggapan Kuliah itu Susah yang timbul dari siswa atau orangtua. 

Kemudian, kurangnya pembekalan guru soal Literasi Digital---sehingga tidak bisa memanfaatkan teknologi secara maksimal untuk mengiringi minat dan bakat siswa. 

Terakhir, sekolah belum menerapkan inklusivitas---masih banyak sekali sekolah yang membatasi gerak dan pendapat pendidik muda. Mereka seakan tidak punya ruang untuk berpendapat dan berinovasi karena terbentur "tradisi". 

Itulah sebab, peran Bu Lilis yang sangat mengayomi menjadi poin penting jika kita hendak membahas mimpi. Bagaimana siswa mau berani bermimpi, jika akses menuju mimpinya saja sudah ditutup sebelum dibuka? Ya, otomatis kerja dan menikah menjadi jalan pintasnya

Isi - Mimpi
Selama menjadi perempuan, saya mengalami banyak sekali perubahan mimpi. Saya pernah bermimpi, menjadi istri yang solihah saja dengan penuh waktu mengurusi rumah tangga secara sadar. 

Saya juga pernah bermimpi, harus melanjutkan pendidikan strata dua agar bisa menjadi seorang dosen atau kepala sekolah---dan terlibat memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. 

Kini, saya hanya bermimpi, sekadar menjadi manusia yang berguna dan bisa membahagiakan orang saja. 

Dari ketiga peralihan mimpi, sebetulnya wajar-wajar saja. Sayangnya, tidak bagi perempuan. Terdapat tugas tambahan untuk melatih telinga mengabaikan kalimat sumbang di luar sana.

Misal, persoalan berkarier dan menjadi Ibu Rumah Tangga saja, bisa jadi perdebatan yang tiada henti. Mereka saling diadu satu sama lain, meskipun serupa mengadu pondasi bangunan yang sama kokoh. Pun perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, ia harus akrab dengan sumpah serapah susah jodoh, bikin laki-laki minder, dan gelar tinggi itu tidak ada gunanya. 

Beruntung, sosok Yuni mewakili suara kaum perempuan dengan ketegasannya. Kemudian, saya menambahnya dengan doa agar mendapat pasangan yang tidak membatasi mimpi---tapi, bersedia membersamai mimpi.

Penutup - Menghargai Tubuh
Selain Yuni, film lawas Duo Kribo juga mengajak saya untuk memaknai perempuan melalui sosok Monalisa. Prinsipnya menyimpulkan, bahwasanya hubungan seksual bukanlah semata-mata indikator untuk pembuktian cinta. Tidak melulu soal persembahan tubuh, tapi perempuan layak untuk dicintai dalam pesona yang lain.

Renita
Si tukang nulis yang B aja
Citayam, 19 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun