Mohon tunggu...
Renita Yulistiana
Renita Yulistiana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

I wish I found some better sounds no one's ever heard ❤️😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terima Kasih 2020: Bagian Dua-Tentang Perempuan

26 November 2020   19:57 Diperbarui: 26 November 2020   20:03 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini Aku mengawali perjalanan dengan rute sama. Seperti biasa, Aku bertemu seorang anak laki-laki usia tiga belasan mengamen di Lampu Merah Arif Rahman Hakim. Ia selalu menggunakan celana warna biru dongker---serupa tingkat SMP, kaos berwarna hitam, dan memainkan pianika dengan lagu sama setiap harinya: Tanah Air. Suara pianikanya tidak terlalu jernih, karena ia tidak menggunakan selang penghubung. Tapi, langsung menempelkan bibirnya pada sebuah bulatan semacam pipa penghasil suara di ujung kanan.

Aku tinggalkan anak itu, selain hanya prolog, lampu lalu lintas sudah hijau---Aku berharap tidak ketinggalan commuter line jurusan Stasiun Depok Baru-Jatinegara. Aku selalu gusar setiap sampai di peron. Perdebatan yang sering kudengar soal stigma seorang perempuan lebih baik berdiam diri di rumah, tidak nampak di sini.

Meskipun banyak setelan busana abstrak yang tidak bisa terdeteksi. Aku merasa banyak bertemu perempuan tangguh---dalam kondisi pandemi sekalipun: Ia yang menggendong tas ASI, berkalungkan ID Card perusahaan ternama, atau berseragam petugas keamanan. Sempat sesekali Aku mendapati perempuan yang sedang menganalisis sebuah pasal dengan membaca saksama beberapa lembar kertas sambil berdiri.

Aku terkesan dengan pergerakan kaum perempuan. Banyak kita jumpai tokoh perempuan yang membanggakan. Sebut saja:
Najeela Shihab [Semua Murid Semua Guru]
Najwa Shihab [Narasi]
Aulia Halimatussadiah [Nulisbuku]
Catherine Hindra Sutjahyo [Zalora]
Hanifa Ambadar [Female Daily]
Butet Manurung [Sokola Rimba]

Juga beberapa tokoh lokal yang tidak dipublikasikan. Aku mengenal Ibu Jeane [pegiat literasi di Maluku Tenggara Barat], Ibu Bulan [dosen salah satu PTN di Jakarta yang juga aktif mendirikan Rumah Baca], Ibu Sumi [guru di Kab. Bekasi yang rela mengunjungi rumah siswa dengan berjalan kaki].

Tidak hanya tokoh, pergerakan media dan komunitas yang peduli dengan isu perempuan juga semakin menggeliat: [Jurnal Perempuan yang lahir sejak 1995, Magdalene, Konde, Fimela, Jakarta Feminist, Womenism Indonesia, dan masih banyak lainnya].

Aku merasa beruntung dilahirkan sebagai perempuan. Tahun ini, kegiatan mengangkat kardus berat dan bekerja lapangan, sudah menjadi sebuah kewajaran. Tidak ada lagi pembatasan seperti sebelumnya. Selain itu, Aku merasa lebih leluasa untuk memberikan pendapat. Semakin sering suaraku didengar, meskipun hanya berani pada lingkup pendidikan atau literasi.

Namun, menjadi perempuan Indonesia tidak sepenuhnya merdeka. Laporan Global Health 50/50 menunjukkan bahwa Indonesia bersama dengan Malaysia, Brazil, Amerika Serikat, dan Israel menjadi negara yang tidak memiliki data terpilah gender dalam kasus covid-19. [Sumber]

Bisa dikatakan bahwa pemerintah Indonesia seolah memukul rata beban yang harus ditanggung laki-laki dan perempuan ketika berhadapan dengan pandemi. Sementara, ada beberapa kemungkinan buruk yang bisa terjadi bagi perempuan. Seperti pada kalangan nakes, ibu hamil, atau menyusui.

Selain itu, data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019. [Sumber]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun