Mohon tunggu...
Kentos Artoko
Kentos Artoko Mohon Tunggu... Dosen - Peminat Masalah Politik, Ekonomi dan Politik

Peminat Masalah Politik, Ekonomi, Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunis, China, Jokowi, dan Desain Propaganda

14 Mei 2016   13:47 Diperbarui: 14 Mei 2016   14:02 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latar Belakang Masalah.

Sempat enggan berkomentar, tapi banyak yg mengajak untuk berdialog soal China (saya enggan memakai terminologi Tiongkok) dan pemerintahan Presiden Jokowi.

Singkat saja, Ideologi Komunis bagi bangsa Indonesia adalah cerita masa lalu yang kelam.

Bahasan akademisnya bagi Indonesia sudah selesai ideologi, antek dan paham komunis telah dilarang di Indonesia dan ini masih berlaku loh...!

Lalu kenapa belakangan menyeruak kembali? Setelah beberapa proyek skala nasional (Kereta Cepat) dan proyek infrastruktur dimenangkan oleh China yg notabene menganut paham komunisme.

Bahkan Presiden Jokowi ditengarai bakal menghidupkan lagi poros Jakarta-Beijing!


Pertanyaanya sekarang, mengapa isu komunisme tiba-tiba muncul kembali? Bahkan banyak penjual pakaian di pinggir jalan yg tiba2 saja menjual kaos bergambar palu-arit? Siapa pemasoknya pun masih sumir..

2. Pembahasan.

Pendapat saya ini, mengesampingkan soal pro-kontra tentang ideologi komunis?

Pendapat ini dititikberatkan pada munculnya paham komunisme secara tiba-tiba, ditengah membaiknya hubungan ekonomi dengan China.

Fokus pendapat saya dibagi menjadi 2, secara ekonomi (internasional)  dan politilk.

Secara ekonomi internasional,
saat ini siapapun mahfum kalau negeri tirai bambu itu adalah penguasa tunggal perekonomian dunia. Dengan kondisi ini, China bisa melakukan apasaja yang diinginkan terhadap dunia.

Melihat kondisi ini,  Amerika Serikat (AS) tentu saja gamang, sebagai negeri adidaya dan adikuasa, tentu paman sam tak ingin kelihatan ompong dalam bidang ekonomi di mata internasional.

Berbagai cara tentu dicari dan dilakukan untuk memulihkan kondisi ini, termasuk di Indonesia.

Hal serupa pun dilakukan oleh Jepang yang sejak 1970-an mendominasi perekonomian di Indonesia. Apapun akan dilakukan untuk memertahankan posisi ini di Indonesia.

Kekalahan Jepang dalam blok Masela tentu menambah panjang catatan kekalahan Jepang, setelah sebelumnya harus hancur di proyek Kereta Cepat.

Secara politik internasional, AS telah diakui sebagai pendulum demokrasi yang utama.

Sedangkan China melakukan blending (pencampuran) antara paham demokrasi dan komunis agar mampu bertahan dalam gempuran era keterbukaan informasi belakangan ini.

Hampir seluruh generasi yang lahir periode 1950-kini, terutama anak-anak pejabat penting Partai Komunis China ternyata belajar dan mendapatkan gelar hingga Doktor di AS.

Mereka berupaya keras untu menerapkan kebebasan berpendapat dalam paham demokrasi yang dicampur dengan pola kepemimpinan sentralistis (Proklamator RI Soekarno sebenarnya telah lebih dahulu mengombinasikan dua paham politik dan bernegara ini/demokrasi terpimpin, jadi betapa visionernya beliau).

Dan harus diakui China berhasil menerapkan hal ini, terutama setelah peristiwa Tiananmen. Generasi muda China diberi kebebasan mutlak untuk berekspresi, berpendapat, berpikir. Hasilnya China kini mampu memproduksi apa saja mulai dari pesawat ulang alik hingga peniti.

Secara politis, hubungan baik yang terjalin antara Presiden Jokowi dan Presiden China  Xi Jinping dikhawatirkan bakal menggerus kekuatan AS dan Jepang di Indonesia yang selama ini telah dinikmati oleh sejumlah elit politik dan ekonomi.

Ratusan ribu mahasiswa Indonesia lulusan AS dan negara-negara sekutu telah menyumblimasi dan berkohesi dengan kehidupan sosial serta politik di nusantara.

Sudah banyak pejabat, pemikir dan dosen yang berasal dari perguruan tinggi AS dan Jepang.

Ibarat pepatan "There is no Free Lunch" mereka kini dikumpulkan lagi untuk membendung penetrasi Sang Naga.

Tidak sulit untuk menebak, upaya awal yang dilakukan adalah dengan menghembuskan kembali sentimen anti-China dan paham komunisme yang memiliki sejarah hitam di Indonesia.

Propaganda ini terbukti mampu menjadi primadona dalam sejumlah pembahasan akademis, diskusi di media sosial hingga komentar menteri.

Dalam hal ini, pemerintah hendaknya mampu untuk bersikap waspada dan tidak langsung mengambil kesimpulan agar tidak masuk dalam perangkap propaganda yang sengaja diciptakan untuk memecah belah bangsa dan membangkitkan sentimen anti-China di Indonesia.

Sebab, konflik SARA dalam suatu negara akan menimbulkan luka yang teramat dalam, dibandingkan dengan konfrontasi langsung dengan negara lain.

3. Penutup.

Melalui argumen singkat penulis diatas, bisa disimpulkan bahwa bangsa dan rakyat Indonesia saat ini sedang masuk dalam perangkap Grand Design Politik dan Ekonomi yang secara tidak langsung akan menohok pemerintah melalui hubungan ekonomi dengan China.

Teori yang digunakan adalah spiral of silence dimana penanaman rasa kebencian dan keburukan itu akan terus membesar dan makin besar (seperti gulungan spiral) dan apabila ditekan akan memberikan efek kejut yang tak terduga.

Sasaran akhirnya jelas, merontokan dominasi China dan meminimalisasi kekuatan politik pemerintah yang akan terus digoyang melalui berbagai demonstrasi.(kra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun