Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku memilih untuk menarik diri dari dunia luar. Aku juga tidak tahu alasan apa yang membuatku berhenti bersosial. Yang pasti, semua itu diawali dengan rasa lelah. Lelah ketika semua usaha yang kulakukan seolah-olah tidak ada artinya.
Aku pernah mencoba bersuara, tetapi suaraku seakan tak terdengar. Aku pernah berpendapat, tetapi tak seorang pun menghiraukan. Aku pernah mencoba hadir di antara mereka, tetapi seolah aku tak kasat mata. Mereka tak melihatku, mereka tak mendengarku. Hari demi hari kujalani dengan rasa kosong, hampa, dan bingung.
Tubuhku masih bernafas, mataku masih berkedip, tetapi semua itu terasa tak berarti. Aku tidak memiliki arah, tidak memiliki tujuan. Hingga suatu malam, aku memutuskan untuk mencari kembali. Jika aku yang memutuskan untuk berhenti, maka aku juga yang berhak memutuskan untuk memulai lagi.
Aku berharap usahaku kali ini bisa memberi petunjuk dalam hidupku. Dan benar, aku menemukan seseorang. Dengan penuh keraguan, aku mencoba terbuka padanya. Aku ceritakan segala kepahitan, keluh-kesah, dan rasa hampa yang menjeratku. Yang mengejutkanku, dia mendengarkan. Tidak ada penghakiman, tidak ada penolakan. Dia memberi ruang, merangkulku dengan kata-kata sederhana:
"Aku tahu kamu lelah. Tidak ada yang salah dengan semua pilihanmu. Wajar, semua manusia butuh jeda. Yang membuatku bangga adalah meskipun gagal, kamu berani bangkit. Kamu berani mencoba lagi. Kamu berani menemuiku untuk bercerita dan bertanya langkah apa yang harus dilakukan. Aku bangga dengan keberanian dan tekadmu."
Air mataku pecah. Kata-kata itu menumbuhkan setitik harapan. Ia tidak menuntutku kembali bersosial, hanya menyarankan agar aku membuka diri perlahan. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri. "Kamu masih punya harapan," katanya. Lalu ia mengucapkan satu kata yang membuat hatiku bergetar: rumah.
Rumah bukan sekadar bangunan kokoh dan mewah, melainkan tempat aku bisa pulang, beristirahat, dan mengisi ulang energi. Saat ia menyebut kata itu, aku merasa dialah rumahku. Kehadirannya adalah cahaya yang membimbingku.
Aku pun mulai melangkah. Perlahan, aku mencoba bermeditasi, bertanya pada diriku sendiri apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku mengisi hari-hariku dengan kegiatan kecil yang memberi warna dalam gelapku. Aku mulai melukis. Lukisan pertama adalah sebuah pintu besar yang terbuka. Aku belum tahu apa yang ada di baliknya, tetapi keberanian membuka pintu adalah tanda bahwa aku siap melangkah.
Hari demi hari, aku melukis lagi. Ia tetap ada, setia mendengarkan, memberi semangat, dan mendukung setiap langkah kecilku. Sampai suatu hari, aku membuka mata, menatap sekeliling dengan seksama. Aku masih berada di ruangan gelap itu. Bedanya, ruangan itu tak lagi hampa---ada aku dan lukisan-lukisan.
Aku mencari sosoknya. Dia yang selama ini menemaniku. Dia yang tak pernah menghakimiku. Ke mana dia pergi? Pandanganku tertumbuk pada sebuah cermin di sudut ruangan. Di sanalah aku melihatnya.