Saat ini, kita sedang menyaksikan sebuah ironi besar dalam kehidupan berbangsa. Masyarakat, bahkan para pemimpinnya, sering kali terjebak dalam ketakutan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Fenomena merebaknya ulat bulu beberapa waktu lalu dapat menjadi contoh nyata. Peristiwa itu memang sempat menimbulkan kepanikan massal, padahal ulat bulu tidak membawa ancaman yang begitu serius. Ironisnya, perhatian masyarakat dan pemerintah justru teralihkan pada persoalan kecil semacam itu, sementara masalah yang lebih mendasar---seperti lemahnya penegakan hukum dan pudarnya etika politik---justru kurang mendapatkan perhatian yang seharusnya. Ketiga hal ini, meskipun berasal dari ranah berbeda, sesungguhnya menggambarkan wajah Indonesia yang sama.
Artikel pertama menyoroti bagaimana ketakutan kolektif terhadap hal-hal remeh mencerminkan mentalitas bangsa kita. Dengan menggunakan metafora "fobia ulat bulu," penulis secara satir menggambarkan kondisi sosial politik yang terdistorsi, seolah-olah kita hidup di sebuah "Republik Hantu." Alih-alih berfokus pada akar persoalan, kita sering kali sibuk dengan gejala permukaan yang tidak berbahaya. Gaya penulisan yang naratif, argumentatif, dan sarkastik membuat kritik ini terasa tajam, sekaligus membuka mata bahwa sering kali isu sepele justru dijadikan pengalih perhatian dari masalah yang jauh lebih serius.
Ironi tersebut semakin jelas dalam artikel kedua, yang membahas lemahnya penegakan hukum melalui kasus "pagar laut ilegal" di Banten. Sekilas, kasus ini tampak sederhana, namun sebenarnya menyangkut kepentingan masyarakat, kelestarian lingkungan, hingga transparansi pemerintah. Sayangnya, lambatnya penanganan dan kurangnya ketegasan dari pihak berwenang menimbulkan kekecewaan publik dan berpotensi menggerus kepercayaan terhadap hukum. Artikel ini disusun dengan gaya faktual dan kronologis, serta dilengkapi data nyata. Walaupun bahasanya cenderung padat, pesan yang disampaikan tetap kuat: jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, maka kekacauan akan merajalela, dan rakyatlah yang paling menanggung akibatnya.
Lebih jauh lagi, artikel ketiga menyoroti masalah yang bersifat fundamental, yakni kemerosotan etika politik. Sumpah jabatan para anggota dewan, yang seharusnya menjadi pedoman moral dalam menjalankan tugas, sering kali hanya berhenti sebagai formalitas. Penulis mengaitkan kenyataan ini dengan sejarah Reformasi 1998, yang semestinya menjadi titik balik bagi lahirnya politik yang lebih bersih dan beretika. Namun, realitas politik saat ini menunjukkan bahwa cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai. Dengan gaya argumentatif dan reflektif, artikel tersebut mengingatkan kita bahwa tanpa etika, politik hanya akan menjadi arena perebutan kepentingan, jauh dari nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Jika kita menghubungkan ketiga isu ini---ketakutan massal, lemahnya penegakan hukum, dan merosotnya etika politik---maka terlihat jelas bahwa semuanya adalah bagian dari krisis yang sama. Krisis ini bukan hanya soal sistem, melainkan juga soal keberanian dan integritas bangsa dalam menghadapi masalah nyata. Kita terlalu mudah panik oleh hal-hal kecil, terlalu lemah dalam menegakkan hukum, dan terlalu abai terhadap etika. Pertanyaannya, apakah kita ingin terus bertahan dalam kondisi seperti ini, hidup di "Republik Hantu" yang penuh ketakutan irasional dan ketidakadilan?
Sudah saatnya kita berbenah. Perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil, dari diri kita masing-masing, dengan menumbuhkan sikap kritis, keberanian bersuara, dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika dilakukan secara kolektif, perubahan kecil ini dapat menjadi gerakan besar untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin. Pada akhirnya, kita harus kembali pada hal-hal yang paling esensial: menegakkan keadilan, mencari kebenaran, dan menjunjung tinggi etika politik. Inilah jalan agar bangsa ini bisa keluar dari krisis yang membelenggu, dan melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI