"Merantau adalah proses adaptasi yang penuh tantangan. Dari kemandirian hingga manajemen waktu, yang akhirnya membentuk karakter dan mentalku secara mendalam."
Itulah catatan akhirku tentang merantau, sebuah kalimat yang dapat ku simpulkan, setelah menjalaninya kurang lebih 2 tahun. Masih teringat dalam ingatan perasaan pertama ketika sampai di kost yang baru, bagaimana aku merasa begitu asing dan nggak tau harus memulai dari mana. Rasanya cenderung campur aduk antara excited dan bingung. Nggak ada lagi orang tua yang ngingetin buat makan atau bangun pagi. Semua harus diurus sendiri, dan itu bukan hal yang gampang di awal.Â
Cerita bagaimana aku bisa berakhir di perantauan dimulai ketika kelas 9 SMP. Saat itu bapak sedang mengantarku untuk bersekolah, kemudian berkata suatu hal kepadaku, "le, pikirkan ya besok mau SMA dimana, kamu udah kelas 9, mulai mikir kedepan." Singkat namun rasanya masih berkesan hingga sekarang.Â
Sebenarnya di saat itu, aku sudah memiliki dua planning terkait dimana aku akan melanjutkan studi. Yang pertama bakal mendaftar di salah satu sekolah swasta katolik ternama yang berada di Semarang, dan yang kedua masuk ke sekolah negeri sesuai dengan zonasi wilayah rumahku. 2 pilihan itu sudah kupertimbangkan sejak lama, dan secara matang.Â
Namun ditengah prosesnya, ibu dan kakakku tiba-tiba menawarkan opsi untuk bersekolah di luar kota, yakni di Yogyakarta. Awalnya cukup skeptis ketika aku mendengar tawaran tersebut. Rasanya nggak masuk akal gitu, seorang anak yang baru berusia 15 tahun udah disuruh 'keluar' dari rumah untuk ngekost dan hidup sendiri. Secara personal tokoh yang paling berhasil mempersuasi untuk sekolah diluar kota adalah sosok kakak. Katanya "kamu kalau dirumah nanti gabisa nakal, di jogja aja biar bisa bebas sekalian belajar survive" Itu yang kakakku bilang.Â
Dalam keluarga yang berisi 4 orang, bapak sempat menjadi 'oposisi' dalam hal perantauan ini. Walaupun nggak mengatakannya secara gamblang, tapi aku dapat merasakan bahwa bapak sebenarnya nggak begitu setuju dengan pilihan hidup merantau di jogja. Sebagai kepala keluarga, mungkin banyak yang Ia pertimbangkan, mulai dari prospek masuk perguruan tinggi hingga urusan klitih yang sampai saat ini masih menjadi persoalan di Jogja. Sebagai anak tentu aku harus dapat memahami gejolak batin yang terjadi pada bapak.Â
Singkat cerita sebagai keputusan final, aku memutuskan untuk bersekolah sekaligus merantau di Jogja, di salah satu sekolah katolik swasta ternama yang terkenal dengan homogenitas nya. Keputusan itu kuambil dengan keberanian yang nekat, beberapa temanku di SMP nggak terlalu setuju dengan pilihan itu, mereka mengharapkan supaya aku tetap tinggal dan bersekolah di Semarang. Tanpa adanya bayangan yang jelas, aku milih buat meninggalkan segala kenyaman rumah, demi pendidikan dan pengalaman baru.Â
Minggu-minggu pertama di Jogja jadi masa paling sulit. Biasanya di rumah suasana ramai dengan canda tawa keluarga, tapi di kost, yang ada cuma sunyi. Sering overthinking sendiri, mikirin "apakah aku bakal betah di sini atau nggak?". Tapi seiring waktu aku mulai terbiasa. Aku belajar mengatur semuanya sendiri, dari bangun pagi, mencari makan, sampai ngatur keuangan bulanan.
Yang dampaknya paling kerasa, itu soal kemandirian. Rasanya bener-bener diuji di sini. Kalau dulu semuanya serba disiapin orang tua, sekarang nggak ada lagi yang bisa diandalkan selain diri sendiri. Bahkan untuk urusan sekecil membersihkan kamar, yang dulu sering aku abaikan, sekarang jadi sesuatu yang harus diperhatikan. Awalnya emang berat, tapi lama-lama aku sadar, kalau ini bagian dari sebuah perjalanan yang harus dijalani.
Selain belajar mandiri, aku juga mulai memahami arti kebebasan yang sesungguhnya. Awalnya, aku berpikir kalau merantau berarti bebas dari aturan rumah (pulang malem dan sebagainya), tapi ternyata kebebasan yang diberikan datang dengan tanggung jawab yang besar. Dalam sebuah tongkrongan yang omongannya mulai ngalor ngidul temanku pernah bilang, "kebebasan itu kayak koin yang punya dua sisi. Nek digunakan secara bijak, bisa membawamu ke hal yang lebih baik, tapi kalau disalahgunakan, malah dadi ajur (hancur)."
Sampai saat ini, perjalananku sebagai perantau terus memberikan pelajaran berharga. Dari sekedar belajar bertahan hidup hingga memahami bagaimana mengelola waktu dan tanggung jawab secara bersamaan. Kalau sekarang disuruh melihat ke belakang, rasanya bangga banget karena bisa melewati semua ini. Awalnya mungkin cuma nekat, tapi akhirnya keberanian itu berubah jadi tekad. Aku bertekad untuk lebih disiplin dalam mengelola waktu agar bisa menyeimbangkan antara akademik, dan kehidupan sosial. Selain itu aku juga ingin lebih berani mengambil peluang baru, dengan cara meninggalkan zona nyamanku.Â