Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kafka dan Sebuah Pengakuan

1 September 2021   21:43 Diperbarui: 1 September 2021   22:11 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang laki-laki dan keinginan terdalamnya. (Sumber: Pexel | Olya Prutskova) 

"Mereka cantik. Sama menawannya sepertimu."

          Meski bukan sekali ia mendengar kalimat pujian semacam itu, tapi tetap saja ia suka mendengarnya—sesuatu yang bisa dikatakan sebagai rasa puas terhadap diri sendiri. Untung saja ia tipikal orang yang begitu teramat dapat mengendalikan diri, jika tidak, mungkin akan terlihat ada yang membusung di dadanya akibat pujian itu.

          Beberapa orang teman yang pernah berkunjung ke apartemennya pun berkata demikian ketika melihat dua potret berbingkai oval berwarna hitam yang ada di meja pajangan tersebut. Wajah keduanya terlihat seperti perempuan-perempuan aristokrat abad pertengahan namun dengan pakaian ala modern: satu mengenakan gaun berwarna biru tua dan yang lainnya cokelat tua. Begitu magis.

          Mereka yang dimaksud adalah dua kakak perempuannya.

          "Kau tak pernah absen memuji mereka, Nosa," sahutnya kemudian berjalan perlahan untuk menghampiri gadis itu. Di tangan kanannya ia memegang gelas yang berisi air putih yang sudah tandas nyaris setengah. Jujur saja ia berniat langsung menghabiskan air putih itu jika saja ia tak mendengar ucapan Nosa—gadis yang ia kenal melalui aplikasi kencan enam bulan lalu—tentang kedua kakak perempuannya, "sama halnya seperti aku yang tak akan pernah bosan untuk menanggapimu bahwa Uli dan Marta memang seperti yang kau katakan. Mereka mewarisi sisi menawan Mama. Aku berani bertaruh, kau akan jauh lebih terkesima kalau kau melihat Mama secara langsung. Bukan cuma melalui foto."

          "Kau tinggal atur waktunya, Kafka. Seperti janjiku padamu, aku akan membantumu."

          Ada rasa hangat yang tiba-tiba menelusup dalam dada Kafka, dan ini—tentu saja—bukan kali pertama Nosa berkata seperti itu.

          Enam bulan lalu, ia tak sepenuhnya berharap Nosa akan menerima ajakan pertemuan kencannya. Siapa pula yang menyangka ide gila itu muncul di kepala—dan oh, tentu saja itu sebagai bentuk atas keputusasaannya selama ini, karena ternyata memang sangat sulit untuk menemukan sosok yang pas untuk diajaknya bertemu janda almarhum ayahnya yang tinggal nun jauh di kota Medan.

          Lagipula, siapa yang mau rela dijajaki untuk hal seperti itu? 

          Katanya berulang-ulang sembari terus mengingatkan untuk mengasihani diri sendiri. Ya, tiap kali rasa optimis muncul, sisi yang bersebrangan darinya justeru membunuhnya tanpa ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun