Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Delapan Kali Hari Raya seperti yang Sudah-sudah

12 Mei 2021   07:55 Diperbarui: 12 Mei 2021   08:12 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit-langit sebuah masjid. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Tahun ini sama seperti tahun lalu—dan menjadi tahun kedelapan yang dinikmati berpendar haru. 

Saya tidak ingin merusak keceriaan hari raya kali ini, hanya berhubung masih seputar konten hari raya, tak apalah, hitung-hitung kontemplasi.

Lagipula, saya tak akan berpanjang lebar dalam tulisan ini—alih-alih basa-basi. 

Bagi saya, sejak kali pertama merayakannya, hari raya hanya momentum semata. Ya, karena kebetulan dirayakan berbarengan dengan orang-orang makanya semaraknya seperti kian nyata; ikut merasa bahagia. Tah, pada akhirnya saya tetap menjalani hari-hari saya seperti yang sudah-sudah.

Menjelang delapan kali hari raya, selalu dan masih ada kecamuk di hati saya. Tentang damai yang kerap saya pertanyakan, termasuk tentang bagaimana perasaan "aman" dan "nyaman" yang harus terus ditata ulang untuk sebelas bulan—menjelang Ramadan—yang akan datang. 

Namun, dengan catatan, itu juga kalau saya masih diberi umur panjang.

Menjelang delapan kali hari raya ternyata selalu dan masih menyaksikan hedonisme dipertontonkan, terkadang lebih banyak dilakukan karena mengidamkan pengakuan—demi ke-AKU-an. Saya jadi saksi jika ia ada di mal dan di jalanan; menyelinap halus dalam kebanyakan hati orang yang merayakan. 

Jika boleh jujur, THR "ada" sebagai bentuk perilaku hedonis yang dilazimkan. Benar bukan? 

Padahal, kalau mau jauh direnungkan, sesuatu yang dihabiskan—dengan dalih perayaan—jauh lebih melimpah dari yang wajib dizakatkan.

Menjelang delapan kali hari raya, saya selalu dan masih akan disajikan rupa-rupa bahagia: yang bermewah-mewah, yang mampu dengan sederhana atau yang sangat seadanya.

Padahal, yang didendangkan tak demikian: "baju baru alhadulillah, untuk dipakai dihari raya, tak punya pun tak apa-apa masih ada baju yang lama." 

Jadi, seharusnya tak ada baju baru ya biasa saja. Tidak jadi ukuran untuk dijadikan "ada" meski hanya sekali setahun hari raya—Idul Fitri—menyapa.

Pun sibuk memikirkan tentang kudapan apa yang enak disajikan di atas meja, sementara jumlah hari puasa di bulan ramadan apa kabarnya?

Hari raya terkadang tak lagi bicara menyenangkan keluarga yang dicintai—yang juga membuat bahagia diri sendiri. Tetapi, juga sudah merambat mengundang sakit di hati yang terlanjur terlukai, entah oleh rekan, tetangga atau sanak famili.

Padahal seorang muslim haruslah menyelamatkan saudaranya dari perkataan dan perbuatannya—begitu yang tertulis di hadist riwayat Nasa'i.

Hari raya terkadang tak lagi bicara esensi alih-alih refleksi di hadapan yang maha rahmani tentang bekal amalan-amalan apa yang akan dibawa ketika mati.

Padahal, hari raya sejatinya adalah kemenangan untuk selalu sabar, ikhlas dan tidak menjadi kufur;—padahal, hari raya sejatinya adalah kemenangan untuk selalu tegar, welas dan selalu menaikkan rasa syukur.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun