Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Membaca. Menulis. Foto-Kopi. | Menyukai pembahasan seputar gender equality, parenting dan sosial-budaya yang kerap terjadi sehari-hari. |

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan

28 Februari 2021   22:30 Diperbarui: 1 Maret 2021   07:46 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto couple session di sebuah acara pernikahan. (Foto oleh Kazena Krista)

"Lakukan apa yang kau cintai" adalah kalimat bijak usang yang masih banyak diaminkan orang. Ada pula yang berkata begini "lakukan apa yang membuatmu takut agar kau berkembang"—yang ini jelas tak sepenuhnya salah juga. Malah bisa dianggap pembenaran agar seseorang maju.

Tapi, coba kombinasikan jadi begini, "lakukan apa yang kau cintai dan taklukkan apa yang membuatmu takut!"

Contoh sederhana ketika saya memutuskan untuk menjadi fotografer komersil. Saya memilih wedding sebagai genre fotografi yang saya tekuni (meski bukan satu-satunya genre yang saya suka). 

Bicara—mendokumentasikan—fotografi acara pernikahan, kalau boleh jujur tiap "show" yang saya lakoni saya masih selalu belajar mengendalikan rasa takut saya.

Sebagai fotografer yang terjun secara profesional sejak 2015, entah sudah berapa puluh pasang (atau ratusan?) pengantin yang saya foto. Saya tak ingat pasti berapa bilangannya. 

Pun, saya juga tak pernah menghitung sudah berapa banyak suka dan duka yang tercampur layaknya gado-gado yang saya dapatkan selama saya di lapangan. Anehnya, saya—masih—menikmatinya.

Saya akui menjadi fotografer yang mengabadikan momen awal baru dari sepasang manusia mempunyai kebanggaan tersendiri meskipun saya meyakini wajah saya tak akan pernah masuk dalam kepala mereka—alih-alih mereka mengingat nama saya. Fyi, job pernikahan yang kadang saya jalani lebih banyak didapat dari calling-an teman sesama fotografer yang saya kenal.

It means words by mouth about your skill it’s a thing—it’s important. 

Ya, meskipun portofolio saya nggak rapi-rapi amat karena saya juga punya pekerjaan lain di luar menjadi fotografer.

Tapi, tolong dicatat—kalau perlu di-bold dan di-underline—bahwa menjadi fotografer pernikahan apalagi jika kau perempuan bukan perkara mudah dan tentu saja bukan untuk gaya-gayaan.

Kau tahu, meskipun terselip rasa bangga ketika saya menenteng kamera saat saya menunaikan tugas saya di lapangan sebagai fotografer, terkadang saya masih saja dibekap rasa khawatir—alih-alih tidak ingin disebut rasa takut yang berlebihan sih—dari tiap tatapan mata para tamu yang bertubruk pandang dengan mata saya.

Saya bisa langsung diserang rasa frustrasi yang tiba-tiba dan membabi buta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun