- Ambigunya rumusan yang mengatur mengenai konten internet, dengan sebatas pemberian kewenangan pemutusan akses bagi pemerintah.
- Munculnya rumusan baru, seperti hak atas penghapusan informasi (right to be forgotten), tanpa dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai.
- Persoalan dalam pengaturan pidana yang belum mampu meminimalisir pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legimate expression).
Dalam materi hasil revisi UU ITE dalam pasal 40, terdapat aturan baru terkait kewenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap konten internet yang dilarang, termasuk memberikan perintah kepada Internet Service Provider untuk melakukan pemutusan. Pemberian wewenang mutlak kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses secara politik berbahaya, mengingat besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Selain itu, rumusan ini juga jauh dari standar hak asasi manusia dalam pemutusan atau blocking konten internet, yang menghendaki adanya kejelasan batasan konten internet yang dapat dibatasi, prosedur dalam pembatasannya, mekanisme pemulihannya, dan keharusan wewenang pemutusan konten yang harus diserahkan kepada suatu badan yang independen dan bebas dari kepentingan politik dan ekonomi.
Selain itu, UU ITE yang telah direvisi ini juga masih mengundang kritik yang berkaitan dengan pasal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Secara umum, baik sebelum direvisi maupun setelah direvisi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini tetap dinilai membatasi kebebasan berpendapat atau berekspresi bagi warga negara. Pasal ini sering dipandang sebagai penyebab orang memilih bungkam atau self censorship atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Masyarakat menjadi takut untuk bersuara mengenai ketidakadilan di sekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa karena khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik. Pasal tersebut juga dianggap sebagai pasal yang bertentangan dengan hakekat kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dan tidak seharusnya lulus judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan narasi diatas, diketahui bahwa memang tidak seluruh publik sepakat dengan keberadaan UU ITE ini, baik sebelum di revisi maupun setelah di revisi. Meskipun demikian, sebagian pihak menilai keberadaan undang-undang ini penting dengan pertimbangan jumlah pengguna internet di Indonesia yang cukup besar, yakni sekitar 88,1 juta orang. Para pengguna ini tentu saja membutuhkan batasan untuk menjamin kenyamanan dan keselamatan setiap pengguna internet, misalnya dari bahaya penipuan, informasi yang tidak benar, situs-situs yang mengandung konten negatif dan lain sebagainya.Â
[1]http://elsam.or.id/2016/11/revisi-uu-ite-masih-berpotensi-mengancam-kebebasan-berekspresi/, diakses pada tanggal 29 November 2017 pukul 00.21 di Jakarta
[2]http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38124294, diakses pada tanggal 29 November 2017 pukul 00.56 WIB di Jakarta.