Ketimpangan dan Masalah Distribusi
Selain keterbatasan ruang fiskal, ketidakmerataan distribusi masih menjadi masalah klasik. Guru dan dosen di kota besar relatif lebih cepat merasakan manfaat tunjangan, sementara di daerah terpencil sering terjadi keterlambatan pembayaran atau bahkan minim akses terhadap insentif tambahan.
Fenomena crowding out juga muncul ketika pendanaan pendidikan hampir sepenuhnya ditanggung negara. Akibatnya, partisipasi masyarakat dan sektor swasta dalam mendukung kualitas pendidikan menjadi minim, sementara beban anggaran semakin berat.
Desain Insentif: Jalan Tengah
Sri Mulyani mengusulkan sistem insentif berbasis kinerja, bukan sekadar pemerataan. Dalam perspektif kebijakan publik, pola ini menggeser pendekatan dari equal distribution menuju performance-based reward. Artinya, tunjangan atau insentif diberikan secara proporsional terhadap kontribusi, prestasi, dan kualitas pengajaran, bukan otomatis karena status jabatan.
Jika desain insentif ini berhasil diterapkan, anggaran pendidikan tidak hanya menjadi beban fiskal, tetapi juga instrumen peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sudahkah Sejahtera?Â
Pertanyaan ini tetap mengemuka: dengan 20% APBN untuk pendidikan, sudahkah guru dan dosen sejahtera? Fakta di lapangan menunjukkan:
Masih ada demo akibat keterlambatan tukin.
Banyak guru honorer dengan gaji di bawah Rp 1 juta per bulan.
Disparitas penghasilan yang signifikan antar daerah dan antar kampus.