Pada Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB, 7 Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyinggung isu yang sering menjadi sorotan publik: kesejahteraan guru dan dosen. Ia menegaskan:Â
"Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, 'Oh, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar.' Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?"Â
Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa tunjangan kinerja (tukin) bukanlah hak otomatis:Â
"Intelektualitas dan kepandaian maupun kemampuan untuk meraih prestasi itu bukan masalah azas sama rata sama rasa. Begitu jadi dosen kemudian punya hak privilege untuk mendapatkan tunjangan. Dosen juga harus diukur kinerjanya. Dan inilah yang mungkin menjadi salah satu ujian bagi Indonesia. Are we rewarding the achievement atau are we going to distributing the money for the sake of just equality?"Â
Anggaran Pendidikan 20%: Realitas di Balik AngkaÂ
Sejak 2009, pemerintah konsisten menyalurkan minimal 20% dari APBN untuk pendidikan. Dalam APBN 2025, totalnya mencapai Rp 724,3 triliun, terdiri atas:

Belanja pemerintah pusat: Rp 297,2 triliun
Transfer ke daerah: Rp 347,1 triliun
Pembiayaan jangka panjang: Rp 80 triliun, termasuk dana abadi pendidikan dan beasiswa LPDP.
Pada RAPBN 2026, alokasi untuk gaji dan tunjangan guru/dosen melonjak menjadi Rp 274,7 triliun (naik dari perkiraan awal Rp 178,7 triliun). Di dalamnya, komponen gaji dan tunjangan naik dari Rp 82,9 triliun menjadi Rp 120,3 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa porsi terbesar anggaran pendidikan memang terserap untuk belanja pegawai.
Konsekuensinya, ruang fiskal untuk pembangunan fasilitas, penguatan riset, dan inovasi pendidikan menjadi semakin terbatas. Teori keuangan publik menyebut kondisi ini sebagai trade-off fiskal, di mana prioritas pada gaji pegawai membatasi kapasitas investasi jangka panjang.