Mohon tunggu...
Katriel Larissa
Katriel Larissa Mohon Tunggu... Pelajar

hai ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Sejarah | Bayangan Hitam

5 November 2018   18:36 Diperbarui: 5 November 2018   18:35 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mataku membuka perlahan-lahan dan langsung disambut oleh mentari pagi yang hangat. Aku melihat jam di dinding kamarku, ternyata pukul 8 pagi. "Ah, masih jam 8," pikirku. Aku pun kembali menutup mataku dan tertidur.

            "Alex! Kamu udah jam segini belom bangun juga? Kamu udah telat kerja!" kakakku berteriak. Aku pun kaget dan terlompat dari kasurku. Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka. Ya, aku tidak mandi pada keadaan seperti ini. Setelah itu aku ke dapur dan membuka kulkas untuk mengambil sekotak susu cokelat.

            Kaki panjangku melangkah cepat menuju jalan raya untuk mencari angkot. Namun, hari ini jalanan sangat sepi, dan belum ada satu pun angkot yang lewat. Aku menunggu cukup lama, dan matahari pagi ini mulai menusuk kulitku serta membuat kepalaku pusing. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan ke tempat kerjaku, walaupun sedikit jauh dari rumah. Di tengah perjalanan, kedua kakiku melemah dan semua benda di sekitarku seakan berputar mengelilingiku.

            Aku merasakan diriku sedang berada di tengah lapangan, menatap dan hormat kepada Sang Saka Merah Putih, sambil diiringi lagu kebangsaan Indonesia. Lapangan ini terasa tidak asing untukku, ini tampak seperti sebuah tempat yang sering aku kunjungi sebelumnya. Setelah upacara bendera selesai, aku mengikuti latihan olahraga Taiso bersama dengan teman-temanku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada banyak pemuda yang sedang berlatih kemiliteran. Dimana aku sebenarnya?

            1 jam berlalu dan latihan olahraga Taiso pun selesai. Aku berjalan mengikuti teman-temanku. Tampaknya mereka memasuki sebuah ruangan kelas yang berada di samping lapangan. Saat memasuki ruangan tersebut, aku baru menyadari bahwa aku sedang berada di sekolahku dulu. Ketika sudah duduk di ruangan kelas, pelajaran bahasa Indonesia dimulai. Aku seperti mengingat kejadian ini. Ini adalah masa-masa dimana bahasa Belanda mulai digantikan oleh bahasa Indonesia. Tetapi ini sudah tahun 1980 dan aku berumur 45 tahun, namun aku berada di sebuah sekolah, kembali menjadi anak-anak pada zaman penjajahan Jepang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku.

            "Lex, pulang yuk," Andi membuyarkan lamunanku. Andi adalah tetangga yang juga merupakan teman sekelasku. 

            "Hah? Pelajarannya udah selesai?" aku menjawab.

            "Udah daritadi kali, ayo balik."

            "Oh iya iya bentar," aku berkata sambil membereskan barang-barang bawaanku.

            Kami menyusuri jalan setapak menuju rumah kami. Di samping kiri dan kanan kami terdapat sawah-sawah, dan banyak sekali orang yang sedang menjadi romusha. Tubuhnya kurus sekali, tampaknya mereka sangat menderita. Melihat mereka mengingatkanku pada sosok ayahku. Ayahku meninggal akibat kerja paksa. Bukan hanya ayahku, sebenarnya sudah banyak korban jiwa dari kerja paksa ini.

            Rumahku dan Andi lumayan jauh dari sekolah. Perjalanan kami masih sekitar 15 menit lagi. Setiap hari, pemandangan seperti itulah yang harus kami lihat dalam perjalanan pulang. Namun, hari ini ada yang berbeda dari biasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun