Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Pengadu

28 Januari 2022   08:26 Diperbarui: 28 Januari 2022   08:29 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah kita termasuk pengadu atau yang lebih sering kedatangan orang yang mengadu? 

Ketika menulis kalimat pembuka ini, spontan seakan-akan saya sedang menatap pada diri sendiri dan berkata dengan keras,

"Kalau Anda pengadu, sadarlah! Kalau sering kedatangan pengadu, bijaksanalah!" 

Saya tidak marah atau tidak tersinggung pada diri sendiri yang berkata demikian. Selama ini saya memang sering berbicara pada diri sendiri. Adakala di depan cermin. Bisa dengan ekspresi marah atau sambil tersenyum.  

Urusan mengadu memang banyak cerita dalam kehidupan ini. Bisa menjadi sumber keributan, perpecahan, bahkan kematian. Bila emosi panas yang bicara. 

Bisa juga selesai tanpa masalah. Tak jadi perkara. Bila yang menerima bersikap bijaksana. 

Pada dasarnya seorang pengadu yang merasa paling, sementara yang diadu salah itu dengan niat yang tidak baik. Mencari muka atau mencari dukungan. Tentu di luar konteks mengadukan hal tertentu. 

Urusan mengadu ini cukup sering saya alami dalam dunia kerja. Orang yang mengadu sekalian  untuk mencari muka, bisa dipastikan tidak suka dengan saya. 

Boleh jadi di depan saya bermuka manis, di belakang membawa pisau yang siap menikam. Bila ada kesempatan. 

Dalam hal ini mengadu ke bos tentu atas kejelekan dalam bekerja saya. Kalau mau mengadukan muka saya jelek, pasti bos tidak akan percaya. 

Suatu waktu ketika saya menghadap bos ke kantornya tiba-tiba bos menegur. Sesuai info dari orang di pabrik yang dirahasiakan namanya, katanya saya hampir setiap hari ketika sore sebelum jam kerja selesai sudah masuk kamar tidur. Karena saya memang tidak tinggal di mes. 

Apa benar? 

Ya, benar. Itu jawaban saya. 

Sebelum bos marah-marah, saya mendahului untuk menjelaskan. 

Apakah orang yang mengadu itu tahu sebabnya saya tidur sebelum jam kerja selesai? Itu pun sesekali. Repotnya sekali melihat, jadi kesimpulan sering. 

Oleh sebab itu, saya bilang  ke bos, coba sesekali suruh orang yang mengadu itu ke pabrik lihat juga kalau setiap malam  saya masih kontrol pekerjaan. Kadang sampai pukul 2 atau 3 pagi. Terus lapor ke bos. 

Bos terdiam. Akhirnya hanya berkata,  "Saya sih hanya dengar-dengar aja."

Pernah juga saya didatangi orang yang mengaku anggota DPRD karena ada tetangganya yang diberhentikan kerja mengadu padanya. 

Untung anggota dewan ini bersikap bijak datang untuk konfirmasi. Tetangganya dipecat gara-gara saya. Katanya. Apa benar? 

Cerita yang benar itu, justru selama ini saya sudah berusaha membelanya. Karena kinerjanya jelek dan sering merugikan perusahaan. Ketika dipecat bos saya tidak bisa apa-apa lagi. 

Saya sebutkan saja kesalahannya satu per satu selama bekerja. Berapa kali saya sudah mencoba membela dan berharap ia bisa memperbaiki. 

Akhirnya anggota dewan ini berkata,  "Terus terang saya malu, Pak, kalau begini. Kurang ajar itu anak."

Termasuk di blog kita tercinta  ini, Kompasiana, saya pun pernah jadi bahan olok-olokan para pengadu sebagai tukang salin tempel tulisan. 

Mereka saling mengadu gara-gara ada satu paragraf tulisan yang hanya saya beri keterangan penjelasan dari teman. Karena untuk itu saya memang sempat meminta pendapatnya. Ternyata apa yang dijelaskan teman itu diambil dari suatu sumber. 

Sebuah kesalahan memang oleh ketaktelitian saya. Maklum masih penulis baru. Anak bawang. Namun, salah ya salah. Minta maaf dan edit. 

Yang menyakitkan  setelah kejadian itu mereka menganggap semua tulisan saya adalah hasil salin tempel. 

Saya tidak membela diri, hanya meminta mereka membuktikan. Gaya preman saya sampai keluar. Saya tantang kalau mereka bisa membuktikan semua tulisan saya hasil salin tempel akan saya ganti rugi. Ingat, ganti rugi. 

Macam-macam memang gaya orang  mengadu. Ada yang sampai mengadu pada Tuhan. 

Kenapa sudah bekerja keras masih hidup susah? 

Kenapa sudah jadi orang baik masih sering mendapat masalah? 

Kenapa orang lain yang jahat malah hidup enak dan  kaya? 

Seakan-akan hendak protes menyalahkan Tuhan merasa sendiri sudah hidup baik dan benar. Omong kosong saja. 

Yang luar biasa lagi sampai ada yang mengadukan teman atau saudaranya yang dianggap jahat, agar Tuhan segera memberikan hukuman padanya. 

Siapa yang lebih jahat?

@cerminperistiwa, 27 Januari 2022 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun