Dasar munafik kamu!
Kamu itu sok baik!
Dasar dia itu sok bijak!
Pernahkan mendengar perkataan di atas atau bahkan kita sendiri pernah mengucapkan dan memikirkannya?
Ketika ada orang atau teman berbuat baik atau memberikan pertolongan kepada seseorang, serta-merta kita sinis berkata,"Kamu lagi sok baik ya?!"
Padahal ia sedang benar-benar tulus ingin berbuat baik.
Dilain waktu, ketika ada orang atau teman menolak pemberian seseorang kita langsung menuduh dengan berkata,"Kamu jangan munafik deh, uang itu ditolak!"
Padahal ia benar ingin menolong dengan tidak mengharapkan pamrih.
Pada saat lain, ada seseorang menulis, bahwa ia tulus menulis, tanpa mengharapkan pujian atau headlines.
Diam-diam dalam hati kita bergumam,"Dasar penulis sok tulus!"Â Padahal penulis tersebut benar-benar tulus menuliskan kata-katanya.
Ada juga terjadi, bila seseorang atau teman yang suka memberikan nasehat dan suka berkata-kata yang baik. Lantas saja kita mencapnya sebagai orang yang sok bijak. Padahal ia melakukannya tanpa merasa sebagai orang yang bijak.
Mengapa kita atau seseorang bisa memberikan penilaian demikian terhadap perilaku atau tindakan orang lain? Ini pasti terjadi, karena kita menggunakan standar penilaian itu adalah diri kita sendiri.
Kita mencoba dan berusaha menyamakan orang lain seperti diri kita. Tentu saja ini tidak adil.
Anda adalah apa yang Anda pikirkan. Menurut saya ini adalah kata-kata kebenaran dan terbukti kebenarannya.
Kita adalah yang kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan tentang orang lain, itu belum tentu adalah kebenaran.
Itulah mengapa dikatakan, bahwa manusia seringkali meracuni dirinya sendiri dengan pikiran-pikiran yang menyesatkan.
Kita seringkali menuduh dan menghakimi orang lain dengan kesalahan yang tidak dilakukannya. Tapi hanya berdasarkan pemikiran sesat yang ada di dalam kepala kita sendiri.