Mohon tunggu...
Katarina Retno
Katarina Retno Mohon Tunggu... Dosen - Menulis Hingga Katarsis

Dosen Unika Musi Charitas Palembang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Majas dalam Teh dan Pengkhianat Karya Iksaka Banu

1 September 2020   00:05 Diperbarui: 1 September 2020   00:02 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saya sangat tertarik dengan tulisan berbasis penelitian. Penelitian sebenarnya juga diperlukan dalam menulis fiksi. Tentu saja hal ini bertujuan untuk menghindari hal-hal tak masuk akal meski kadang penulis yang egonya besar dan tidak mau menerima masukan akan berkelit di bawah kata ‘imajinasi’.

Teh dan Pengkhianat (selanjutnya akan saya singkat menjadi TdP) menjadi buku Pak Iksaka Banu yang pertama saya baca. Iyaaa … saya telat membaca, tapi tak telat untuk mengaguminya. Eaaaa …. Sebelum membaca TdP, saya membaca berbagai ulasan mengenai buku ini (dan juga bukunya yang lain). Saya juga mencari tahu mengapa penulis begitu tertarik pada sejarah (kolonial) dan mengemasnya dalam cerita pendek dan novel.

Oh ya, sebelum dilanjutkan, tulisan ini merupakan satu penggalan singkat dari ulasan panjang lebar. Di bagian ini, saya hanya akan membahas (sedikit) tentang majas yang digunakan oleh Pak Iksaka Banu.

Menuliskan sejarah tentu tidaklah mudah. Ada banyak kenangan manis dan menyakitkan di sana. Iya, macam menulis sejarah tentang aku dan kamu. Ada banyak tangis dan tawa di sana. Ahiiwww ….

Di bagian pengantar, Pak Banu menuliskan bahwa ada kesulitan khusus dalam menulis cerita berlatar sejarah. Oleh sebab itu, beliau menggunakan cara menuliskan dalam bahasa yang sangat sederhana, nyaris tanpa bumbu diksi sastra yang berat.

Saya yakin, dulu waktu sekolah, guru Bahasa Indonesia mengajarkan bahwa suatu karya sastra memiliki unsur pembangun yang bisa ditemukan dari dalam karya sastra itu. Hal itu disebut dengan unsur intrinsik. Nah, unsur ini terdiri dari tokoh, penokohan/ karakter, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, tema, dan amanat.

Nah, saat mengajarkan gaya bahasa, bapak/ibu guru Bahasa Indonesia akan menyederhanakan bahwa gaya bahasa adalah majas yang digunakan penulis. Jadi, ujung-ujungnya soal tentang gaya bahasa ini hanya tentang majas.

Benarkah? Hal itu tidak salah meski tidak sepenuhnya tepat.

Gaya bahasa menjadi salah satu kajian dalam teori analisis sastra yaitu teori stilistika. Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik dan dianggap menjembatani kritik sastra dan linguistik. [1]

Kajian stilistika bertolak dari asumsi bahwa bahasa mempunyai tugas dan peran yang penting dalam kehadiran karya sastra. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Keindahan sebuah karya sastra disebabkann adanya kemampuan dan keterampilan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa sehingga menimbulkan kekuatan dan keindahan. [2]

Nah, meski sebenarnya gaya bahasa tidak sebatas majas, kali ini saya memaparkan sedikit tentang majas yang digunakan dalam TdP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun