Mohon tunggu...
Katarina Retno
Katarina Retno Mohon Tunggu... Dosen - Menulis Hingga Katarsis

Dosen Unika Musi Charitas Palembang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Majas dalam Teh dan Pengkhianat Karya Iksaka Banu

1 September 2020   00:05 Diperbarui: 1 September 2020   00:02 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Permajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah dan makna yang tersirat. Majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias. [3]

Majas dibagi dalam tiga klasifikasi. Ketiganya yaitu majas perbandingan, pertentangan, dan pertautan. [4]

Di halaman 18 TdP terdapat kalimat:

Sangat bijak kiranya memasrahkan nasib sepenuhnya kepada sang paman, walau terus terang ia merasa tak nyaman berdekatan dengan makhluk buas yang senantiasa mengeluarkan aroma alkohol dari mulutnya ini.

Kata makhluk buas merupakan perbandingan langsung dan singkat terkait karakter si paman dengan karakter yang tidak disukai si tokoh. Dengan demikian kata tersebut menjadi salah satu contoh penggunaan majas metafora yang digunakan Pak Banu.

Personifikasi merupakan salah satu majas yang banyak digunakan oleh penulis fiksi. Pada TdP, personifikasi juga muncul. Salah satunya tampak pada kalimat yang terdapat pada halaman 45 berikut:

Begitu daun jendela kembar itu terbuka, asap pipa tembakau yang semula terperangkap di dalam ruang kerjaku berangsur lenyap, bertukar tempat dengan hawa sejuk yang menampar-nampar wajah.

Kalimat di atas jelas menunjukkan bahwa penulis menggambarkan suasana saat itu dengan cara menyatakan benda mati, tumbuhan, hewan sebagai sesuatu yang hidup dan berperilaku seolah manusia. Kata menampar-nampar hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki tangan. Di sisi lain, kata ulang itu sekaligus paradoks karena mempertentangkan hawa sejuk dengan menampar-nampar (yang biasanya dilakukan oleh sesuatu yang kasar/ beringas dan jauh dari makna sejuk yang mengarah pada tenang).

Pada beberapa bagian TdP, saya menemukan majas sinisme. Bahkan, saya sempat berpikir bahwa ‘nada utama’ yang ada di beberapa cerpen dalam TdP memang berupa sindiran, baik secara halus maupun terang-terangan terhadap masa kolonial.

Sebagai contoh, pada halaman 26, ketika tokoh Van Geloofig yang seorang pendeta akan meninggalkan tempat ia mengatakan: Semoga Tuhan masih besertamu. Hal ini tentunya sebuah sindiran tajam mengingat kalimat yang biasa disampaikan seorang pendeta untuk memberi berkat adalah: Semoga Tuhan besertamu.

Demikian juga dengan kalimat di halaman yang sama berikut ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun