Pibulsongkhram mewajibkan semua warga Thailand untuk menghormati bendera, menghapal lagu kebangsaan, serta berbicara bahasa nasional.
Mandat tersebut juga mendorong warga Thailand untuk bekerja keras, selalu mengikuti perkembangan terkini, dan berpakaian mengikuti orang barat.
Banyak produksi drama dan film nasionalis yang disponsori oleh pemerintah, dan mengajarkan patriotisme di sekolah-sekolah.
Tahun 1959 hingga 1963, pers di Thailand memasuki zaman kegelapan di masa pemerintahan Perdana Menteri Field Marshal Sarit Thanarat.
Pers terus menerus diancam oleh Pengumuman No. 17 yang dikeluarkan oleh Partai Revolusionernya di tahun 1958, yang berisi:
"Seluruh calon penerbit surat kabar ... untuk mengajukan izin dan bahwa setiap pernyataan penerbitan surat kabar karakter tertentu harus diperingatkan, disita, dan dimusnahkan atau menjalani hukuman dalam bentuk pencabutan lisensi penerbit, printer, atau pemilik"
Pernyataan tersebut dianggap sebagai simbol yang kuat atas lenyapnya kebebasan pers di Thailand.
Kemudian Field Thanom Marshal Kittiachorn mengambil alih. Dengan perkembangan teknologi, pers didorong oleh motif keuntungan.
Kemudian di tahun 1970, Thanom membentuk Majelis Nasional yang menghadirkan undang-undang pers baru dengan tujuan memberlakukan regulasi ketat bagi pers. Tetapi hal tersebut tidak selesai sampai terjadi perebutan kekuasaan diam-diam.
Setelah perebutan kekuasaan, Thailand bukan lagi menjadi pemimpin opini publik, melainkan pengikut. Periode ini menandai dimulainya surat kabar berbahasa Inggris dengan The Nation sebagai harian berbahasa Inggris pertama yang dimiliki orang Thailand.
14 Oktober 1973, terjadi sebuah revolusi untuk menyingkirkan kediktatoran militer yang kemudian membuat Sanya Thamasak diangkat oleh Raja Rama IX. Sanya membebaskan jurnalisme Thailand dari 'kerajaan ketakutan'