Mohon tunggu...
Katarina Krissanty
Katarina Krissanty Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hello!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Praktik Sunat pada Perempuan: Bahaya atau Tidak?

6 Maret 2022   23:13 Diperbarui: 6 Maret 2022   23:16 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika mendengar kata "sunat atau khitan", yang terlintas di pikiran sebagian orang pasti identik dengan laki-laki. Namun, pada kenyataannya praktik sunat juga dilakukan pada perempuan atau istilahnya Female Genital Multilation, Female Genitale Cutting, dan Female Circumcision. Sunat pada perempuan ini masih sering dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, bahkan sudah dianggap seperti tradisi di beberapa wilayah, khususnya Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur.  Sunat pada perempuan dalam suku Madura dikatakan sebagai tradisi karena praktik ini sudah dilakukan secara turun-temurun sejak zaman dahulu dan masih terus dilakukan hingga saat ini. Hukum sunat pada perempuan ini dikatakan sebagai "wajib atau sunnah" dan menyebabkan praktik sunat ini menjadi salah satu pembenaran. Biasanya praktik sunat ini dilakukan pada anak perempuan yang baru lahir, biasanya rentang umur bayi sekitar 0-40 hari. Secara tradisional, biasanya tindakan ini dilakukan oleh dukun bayi, namun di masa kini, praktik sunat pada anak perempuan banyak juga dilakukan oleh bidan yang terkadang dibantu oleh dukun bayi. Cara sunat pada anak perempuan ini juga memiliki beberapa cara, beberapa diantaranya adalah dengan cara memotong ujung kelamin anak (ujung klitoris), menggores atau menusuk kelamin anak, dan juga hanya digores dengan kunyit yang sudah dikupas pada kelamin, dan tidak dipotong.

Sunat pada perempuan ini menjadi salah satu fenomena sosial yang menjadi sorotan dunia dan telah menuai banyak pro dan juga kontra. Orang-orang yang mendukung praktik ini beralasan bahwa sunat pada anak perempuan ini dapat menekan libido saat anak perempuan tumbuh dewasa kelak, mereka menganggap perempuan yang disunat nantinya dapat menjaga kehormatan dirinya hingga menikah. Namun, ada juga pendapat kontra. WHO memperkirakan sekitar 140 juta anak perempuan dan wanita di seluruh dunia hidup dengan konsekuensi dari praktik sunat ini. Praktik ini dianggap pelanggaran terhadap hak anak-anak, melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atay merendahkan martabat, serta hak untuk hidup akibat prosedur yang mengakibatkan kematian (WHO, 2018). Ada juga yang mengatakan bahwa praktik sunat ini meperjelas efek negatif yang serius yang menyebabkan bahaya bagi fisik dan psikologis anak perempuan dan juga perempuan dan melarang keras praktik ini dilakukan. Banyak opini yang mengatakan bahwa sunat pada perempuan ini merupakan anjuran agama, tradisi, untuk kesehatan reproduksi, bahkan dianggap sebagai indikator kesetaraan gender.

Berdasarkan pendapat pro dan kontra yang telah diambil dari praktik budaya sunat pada anak perempuan ini, memang masih banyak masyarakat di Indonesia yang masih tetap melaksanakan praktik ini karena tradisi dan kepercayaan, walaupun banyak juga yang mengatakan bahwa praktik ini berbahaya, melanggar hak perempuan, dan hal-hal lain. Menurut Arybowo (2010), dengan adanya penelitian yang membahas bahwa praktik sunat ini berbahaya dan melarang keras praktik sunat, maka dapat disimpulkan dalam hal ini mulai terjadi budaya transisi, di mana peran mitos mulai diambil alih oleh akal pikir, bukan lagi melalui kekuatan mitologis dan tradisi. Dalam hal ini, visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, dan juga kebebasan. Karena pada hakikatnya, masa transisi ini bersangkutan dengan problem budaya yang dalam kasus ini adalah bahaya praktik sunat pada anak perempuan dan juga perempuan. Maka dari itu, jika hal ini tidak ditangani secara serius, dikhawatirkan akan menjadi hambatan bagi masalah psikologis dan bisa juga menjadi ketidakstabilan sosial akibat perbedaan pendapat antara pro dan kontra.

DAFTAR PUSTAKA

Ariesta, Putri Septyaning Rahayu. (2018). PRAKTIK SUNAT ANAK PEREMPUAN (Studi tentang Relasi Kuasa dan Reproduksi Kuasa dalam Praktik Sunat Anak Perempuan dalam Perspektif Gender). Jurnal Tesis.

Arybowo, Sutamat. (2010). Kajian Budaya dalam Perspektif Filosofi. Jurnal Masyarakat & Budaya. 12(2). 217-218.

Sulahyuningsih, Evie., Daro, Yasinta Aloysia., Safitri, Alfia. (2021). ANALISIS PRAKTIK TRADISIONAL BERBAHAYA: SUNAT PEREMPUAN SEBAGAI INDIKATOR KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AGAMA, TRANSKULTURAL, DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI KABUPATEN SUMBAWA. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. 12(1). 134-148.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun