Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sejarah Pemilu di Indonesia dan Ikhtiar Menyongsong Pilkada 2020

13 September 2020   16:58 Diperbarui: 13 September 2020   17:01 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - okezone.com

Sebagian kalangan khususnya kaum akademisi tentu tidak akan asing mendengar istilah pemilu ataupun pilkada, namun pernahkah terpikirkan oleh kita kapan dan bagaimana sebetulnya pilkada ini dilaksanakan pertama kali?

Permasalahan apa saja yang terjadi dalam setiap momen pemilihan pemimpin di bangsa ini? Dan bagaimana proses penyelesaian setiap permasalahan yang hadir ketika pemilu/pilkada berlangsung di negara ini? 

Karena pada hakikatnya sebagai kaum intelektual, kita harus mengetahui proses penting pendirian bangsa ini dan bebagai peristiwa di dalamnya, khususnya dalam konteks pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Mengintip sedikit ke sejarah pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia khususnya dalam pemilihan Presiden pertama kali di Indonesia yang secara berkala pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Jika dilihat dari pelaksanaan pemilu di Indonesia khususnya dalam memilih Presiden pada periode 1955-1977 dan 1997-1999 terdapat ketidakkonsistenan periodisasi pemimpin bangsa yang tidak seperti saat ini dimana setiap 5 tahun sekali sudah pasti akan dilaksanakan pemilu Presiden. 

Tahun 1998 saja yang selalu diingat sebagai kelahiran Reformasi pun ternyata tidak bisa terlepas dari kekacauan pesta demokrasi di negara Indonesia karena seperti yang dialami Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid yang harus menelan pil pahit kerasnya dunia politik di Indonesia.

Keduanya diimpeach oleh MPR. Presiden Habibie dianggap gagal saat pertanggungjawaban soal lepasnya Timor Leste dari Republik Indonesia di Sidang Istimewa MPR, sementara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR karena menerbitkan Dekrit Presiden yang hendak membekukan DPR.

Politik khususnya dalam proses penentuan kekuasaan selalu menjadi hal yang diminati sekaligus berbahaya bagi pelaku politik di negara ini. Terlebih ketika kita masih mengingat tragedi G30S PKI pada tahun 1965, dimana estafeta pemimpin bangsa Indonesia mendarat dengan tidak mulus karena harus diwarnai dengan pertumpahan darah. 

Mengingat pentingnya periodisasi kepemimpinan dan proses regenerasi pemimpin yang aman dan tertib, maka dalam pasal 7 UUD 1945 diatur masa jabatan seorang Presiden yang menyatakan, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". 

Hal ini berarti bahwa menjabat di negara Indonesia harus memiliki waktu menjabat dan program kerja yang jelas.

Pemilihan umum untuk memilih Presiden sejatinya harus dilaksanakan dengan damai, aman, dan berakhir baik. Pelaksanaan pemilihan umum yang damai, aman, dan berakhir baik tentunya juga harus berlaku bagi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di masing-masing Kota maupun Provinsi. 

Mengingat waktu yang semakin mendekati perhelatan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 9 desember 2020, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia seharusnya sudah semakin dewasa dalam pelaksananya karena bukan satu atau dua kali bangsa ini melaksanakan pemilihan secara langsung. 

Calon pemimpin negara Indonesia maupun daerah-daerah sudah saatnya untuk menjadi rule model bagi masyarakat dengan menunjukan kedewasaan politiknya di hadapan masyarakat.

Pilkada atau pemilihan kepala daerah sebelum tahun 2005 baik kepala daerah dan wakil kepala daerah itu dipilih hanya oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun menyadari pentingnya partisipasi langsung masyarakat dalam memilih kepala daerah menjadi acuan utama kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyatnya. 

Awal mula berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membuat kepala daerah dan wakil kepala daerah di masing-masing Kota dan Provinsi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). 

Sejarah mencatat Pilkada pertama di Indonesia itu diselenggarakan pada bulan Juni 2005 yang dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Istilah lain dalam pemilihan kepala daerah lahir pada tahun 2007 yaitu sejak mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Kala itu pilkada dimasukkan kedalam konteks pemilu, sehingga mulai diperkenalkan secara resmi bernama PemiluKada atau dengan kata lain Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 

Daerah pertama yang melaksanakan dan menggunakan istilah PemiluKada setelah undang-undang ini berlaku adalah Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2007. 

Selain membawa perubahan istilah, ketentuan UU nomor 22 tahun 2007 ini juga membawa sedikit perubahan dalam pelasanaan pemilihan kepala daerah meskipun tidak banyak.

Perjalanan terjal serta hiruk pikuk pilkada tidak selesai sampai tahun 2007 saja, pada tahun 2011, terdapat istilah daru yang dinamakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 

Penggunaan istilah baru dalam penyelenggaran pemilihan umum di tingkat daerah tersebut merupakan dampak dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011.

Penulis sebetulnya kebingungan, mengapa banyak sekali redaksi baru dalam konteks "pilkada", tetapi penulis menyadari bahwa berbagai perubahan redaksi dan istilah dalam pilkada bertujuan baik agar proses penyelenggaraan pemilihan umum ditingkat daerah berjalan dengan baik, aman dan kondusif.

Tahun 2011 bukanlah tahun terakhir dalam pemutakhiran regulasi pemilihan kepala daerah, karena ternyata pada tahun 2014 lalu DPR-RI dalam Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 menyatakan bahwa proses pilkada dikembalikan secara tidak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD. 

Sebanyak 226 orang gabungan setiap fraksi di DPR yang terdiri dari fraksi Golkar, fraksi PKS, fraksi PAN, dan fraksi Gerindra mendukung keputusan pemilihan kepala daerah dikembalikan secara tidak langsung. Pro kontra hadir ketika regulasi ini pertama kali dibahas, beberapa pihak menilai bahwa hal tersebut merupakan proses mengkebiri hak demokrasi masyarakat. 

Proses juditial review atau peninjauan kembali pun dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa tidak puas ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi substansi pasal-pasal yang dianggap tidak demokratis.

Akhirnya upaya peninjauan kembali pun berhasil, karena tidak memenuhi quorum (50+1 suara) dari total 560 anggota DPR RI dan membuat pilkada tetap dilaksanakan secara langsung sampai hari ini.

Pilkada pada hakikatnya adalah pesta demokrasi rakyat, dengan demikian sudah seharusnya rakyat dilibatkan secara langsung. 

Tahun 2020 ini menjadi perhelatan pemilihan kepala daerah tahun ke-15 jika 2005 menjadi awal dimulainya pemilihan kepala daerah di Indonesia. Penyelengaraan yang berjalan baik tentunya menjadi indikator dewasa atau tidaknya calon kepala daerah dan penyelenggara pilkada karena tahun ini bukanlah tahun pertama penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. 

Partisipasi aktif masyarakat tentu sangat dibutuhkan untuk sama-sama mengawal penyelenggaraan pilkada tahun 2020 ini agar berjalan secara rahasia, bersih, jujur, dan adil.

Dinamika yang terjadi selama proses penentuan pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 adalah hal yang lumrah di alam demokrasi. Karena itu, Pemerintah bersama Penyelenggara Pemilu harus meyakinkan publik agar kesehatan dan keselamatan nyawa masyarakat pemilih serta para petugas Pemilu bisa terjamin dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Aturan atau regulasi hanyalah goresan tinta di atas kertas jika tidak diimplementasikan dalam bentuk intervensi publik. Mendisiplinkan ratusan juta penduduk yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Pilkada 2020 ini memang bukan tugas yang mudah. 

Namun, kerja-kerja Konstitusional KPU, Bawaslu dan Pemerintah akan menjadi ringan jika ada komitmen dari Partai Politik, paslon Kandidat dan para pendukung untuk selalu DISIPLIN MENJALANI SELURUH ATURAN MAIN DALAM PILKADA TERMASUK PROTOKOL KESEHATANNYA.

Semoga Pilkada serentak 2020 ini menjadi refleksi bangsa kita kedepan agar dalam menjalani agenda nasional seperti Pilkada, dipersiapkan lebih matang dengan regulasi yang tegas dan aplikasinya di lapangan.

Selain itu, tentu saja kita semua berharap agar partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2020 tidak rendah, agar legitimasi pemerintahan daerah yang lahir dari hasil Pilkada bisa kuat untuk menjalankan berbagai program kesejahteraan dan terutama program penanganan COVID-19 serta dampak sosial ekonominya. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun