Kasus seorang kepala sekolah yang dinonaktifkan setelah menampar siswa yang ketahuan merokok kembali memicu perdebatan publik. bukan hanya soal tindakan guru dan perilaku siswa, tapi juga soal cara mendidik, disiplin, dan perbedaan cara pandang antar generasi.
Di ruang media sosial, Generasi X dan Milenial banyak menyuarakan bahwa hukuman fisik ringan itu hal yang biasa mereka dapatkan ketika sekolah, sedangkan Generasi Z menilai tindakan itu sebagai kekerasan yang tidak dapat dibenarkan. Perbadaan tajam ini menunjukan adanya jurang persepsi antara cara didik lama dan konteks pendidikan masa kini.
Regulasi Tegas: Kekerasan dan Larangan Rokok di Sekolah
Sebelum masuk ke perdebatan moral dan generasi, penting menegaskan dasar hukumnya. Menurut Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, artinya segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal dilarang di lingkungan sekolah. Guru dan tenaga pendidik dituntut untuk memiliki keterampilan dalam manajemen kelas, komunikasi, dan pendekatan disiplin yang humanis.
Di sisi lain, Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 dan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 secara tegas melarang rokok di lingkungan sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Rokok termasuk dalam kategori zat adiktif yang dilarang digunakan di area satuan pendidikan. Artinya, kedua tindakan tersebut yaitu merokok oleh siswa maupun kekerasan oleh guru, sama-sama melanggar aturan. Situasi ini bukan sekedar hitam dan putih antara pelaku dan korban, tapi menyangkut benturan nilai dan cara pandang.
Mendisiplinkan Tanpa Kekerasan Menjadi Tantangan Pendidikan
Pakar pendidikan dari berbagai studi menyebut bahwa tantangan utama pendidikan modern bukan sekedar mendisiplinkan siswa, melainkan menemukan pendekatan yang efektif tanpa melanggar hukum. Sebuah penelitian dari International Journal of Education Development (2020) menunjukkan bahwa strategi disiplin berbasis komunikasi dan pendekatan restoratif jauh lebih efektif membentuk perilaku positif siswa dibanding hukuman fisik. Guru di era sekarang perlu memiliki kemampuan soft skill dalam mengelola konflik, bukan hanya ketegasan.
Selain itu, penelitian di Indonesia yaitu Jurnal Pendidikan Karakter (2021) menyebutkan bahwa siswa yang melanggar aturan seperti merokok lebih mudah berubah perilakunya jika dilibatkan dalam proses refleksi dan konseling, dibanding sekadar diberikan hukuman keras. Pendekatan ini terbukti menurunkan angka pelanggaran hingga 37% dalam uji lapangan di beberapa SMA negeri.
Murid Merokok dan Disiplin Sekolah
Merokok di usia remaja bukan sekadar pelanggaran kecil. Penelitian Kemenkes (2022) menunjukkan 1 dari 5 remaja usia 13 - 17 tahun adalah perokok aktif, dan kebiasaan itu sering dimulai di lingkungan sekolah atau sekitar sekolah. Karena itu, hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran ini perlu proporsional, mendidik, dan tidak merendahkan martabat siswa. Praktik terbaik di sejumlah sekolah adalah menerapkan sistem konseling wajib, pelibatan orang tua, dan kegiatan pembinaan, bukan hukuman fisik.