Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Tinggi dan "Knowledge Container"

5 Mei 2018   23:04 Diperbarui: 6 Mei 2018   14:46 2175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(M Latief/KOMPAS.com)

Selain itu tentu saja mengurangi fasilitas pengajaran yang sekali lagi berdampak pada kualitas serta kualifikasi mahasiswa yang dihasilkan. Maka jangan heran bahwa akan ditemukan sarjana lulusan IT yang tidak bisa menulis kode. Tenaga akuntansi yang bahkan tidak paham menghitung biaya dasar produksi. Efek samping lainnya adalah universitas lebih besar menawarkan program studi di bidang sosial yang notabene biaya serta pendiriannya lebih mudah. Sekali lagi, mengakibatkan jumlah tenga kerja berpendidikan tinggi dengan kualifikasi ilmu sosial melebihi pasokan serta dengan kualitas yang tidak sesuai permintaan pasar dunia kerja. 

Hal yang tentu saja berdampak pada tingginya pengangguran lulusan pendidikan tinggi namun di saat bersamaan jumlah permintaan juga tinggi. Hal yang mendorong permintaan atas tenaga kerja asing tinggi. Kita hanya bisa berlapang dada menjadi para buruh yang tentu saja menjadi tenaga perahan karena memang faktor produksi makin dimurahkan sementara pada sisi lain tenaga knowledge yang mahal tidak Indonesia miliki.

Hal yang menjadi permasalahan besar adalah kita harus memiliki pendidikan tinggi berkualitas tetapi berharga murah. Konsep yang bisa dimanfaatkan adalah sistem pendidikan digital seperti Coursera serta EdX. Kuliah sistem jarak jauh. Tetapi sistemnya harus digabungkan dengan juga praktek yang tentubsaja tidak digital tetapi di lab sebenarnya. Lab yang sebaiknya disediakan oleh pemda di SMK negeri yang bisa dimanfaatkan oleh para mahasiswa setelah jam pelajaran usai danbtidak terpakai. Tetapi satu hal yang paling sulit untuk menerapkan pendidikan model ini adalah kesediaan mahasiswa untuk susah lulus. 

Hal yang menjadi perbedaan terbesar dari diajar oleh seorang professor atau dosen kualitas pas-pasan bukan pada pengajarannya. Seorang dosen dengan ilmu pas pasan bisa memberikan kualitas pendidikan pengajaran yang lebih baik dari professor yang pintar. Perbedaan utamanya terletak pada kualitas ujiannya. Seorang professor dengan ilmu yang baik akan memberi standar lebih tinggi pada kelulusan. 

Sehingga hasil lulusan pengajarannya akan selalu lebih baik dari pengajar ilmu pas pasan. Tetapi mahasiswa secara umum tidak akan menyukai kuliah dengan kelulusan sesulit ini. Pada sisi lain dunia kerja serta dunia nyata tempat para lulusan itu berkarya akan lebih menyukai lulusan sang professor. Dan jika menginginkan kualitas pendidikan jarak jauh berkualitas maka harus memiliki kelulusan dimana setiap ujiannya dibuat oleh standar para professor. 

Namun, pendidikan tinggi model ini kemungkinan besar tidak akan diminati di negeri dimana ujian yang sebenarnya diujikan untuk anak SD di negeri maju tetapi ketika diujikan di SMA, dianggap terlalu sulit dan memberi stress pada anak. Tanpa menyadari bahwa dunia persaingan dengan basis neoliberal sebagai mainstream memang mengutamakan "the fittest". 

Suatu hal yang sangat menyedihkan tetapi di dunia dimana pendidikan adalah pembentuk human capital, kita tidak punya pilihan. Hakikat pendidikan adalah industri penghasil modal "knowledge container". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun