Mohon tunggu...
Annisa Kharismi
Annisa Kharismi Mohon Tunggu... Freelancer - Writer / Universitas Diponegoro

Annisa Kharismi - gadih Minang - amateur writer. Lahir di Koto Panjang 3 Januari 2000. Lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Negeri Padang dan mahasiswa aktif S2 Linguistik Universitas Diponegoro. "Blog ini adalah ruang bagi seorang introvert seperti saya yang minim kesempatan untuk sharing lewat public speaking dan memilih untuk menumpahkan pikiran lewat tulisan".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Minang dan Harato Pusako Tinggi

19 Maret 2024   06:43 Diperbarui: 19 Maret 2024   06:54 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah percakapan menjelang imsak di Ramadhan 1445 H, saya iseng bertanya pada Ibu, "Kenapa anak perempuan begitu berharga di dalam adat istiadat masyarakat Minangkabau?" Ibu memberikan jawaban yang cukup ironi tentang bagaimana kita memang "berharga" dalam artian senilai dengan harga nyawa dalam hak untuk mewarisi harato pusako tinggi.

Harato pusako tinggi dalam adat Minangkabau adalah segala bentuk harta yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui garis keturunan ibu atau matrilineal. Dalam istilahnya, orang tua terdahulu melakukan manaruko yakni proses pembukaan lahan baru, dari yang masih berbentuk hutan belantara menjadi bidang-bidang tanah yang dapat diolah untuk menyambung hidup.

Pada masanya, sama halnya dengan saya yang mendengarkan cerita dari Ibu hari ini, Ibu pun dahulu duduk di samping Nenek, Nenek pun dahulu duduk di samping ibunya. Ibu bilang, orang tua dahulu manaruko hanya dengan berbekal "maco bada di tangan suok, baro api di tangan kida" yang jika diartikan secara harfiah adalah ikan asin di tangan kanan, bara api di tangan kiri. Hal ini menggambarkan bagaimana proses manaruko dengan kondisi kehidupan yang sulit, mengandalkan peralatan seadanya, dengan harapan kehidupan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang dengan modal lahan yang telah diusahakan. Ibu melanjutkan, tidak jarang orang tua dahulu juga bersumpah atas nama anak cucu pada generasi yang akan datang, di atas tanah tersebut, sembari menancapkan pancang batas penanda, dengan berbagai bagian tubuh yang terluka karena tentu saja proses pembukaan lahan baru tidaklah mudah kala itu.

Lalu, Ibu menekankan, begitulah harato pusako tinggi tidak boleh diperjualbelikan karena harato pusako tinggi adalah tanah sumpah nenek moyang demi kesejahteraan anak cucu, kecuali dalam empat perkara yaitu rumah gadang katirisan, maik tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki, mambangkik batang tarandam. Ketika rumah gadang sudah harus direnovasi, ketika ada anggota keluarga yang meninggal, ketika anak perempuan yang sudah cukup umur harus dinikahkan, dan ketika ada kebutuhan mendesak untuk kepentingan kaum seperti pendidikan ataupun pengangkatan penghulu kaum.

Secara tradisi, harato pusako tinggi diwarisi kepada anak perempuan di dalam keluarga. Perempuan berperan penting sebagai umban puruak atau pemegang pundi-pundi yang mengatur perekonomian keluarga. Sedangkan laki-laki berperan dalam kepemimpinan di dalam keluarga ibunya. Laki-laki bertanggung jawab untuk melindungi saudara perempuan dan anak dari saudara-saudara perempuannya, termasuk dalam hal mendidik secara adat maupun secara agama. 

Dalam istilah kekerabatan, saudara laki-laki ibu disebut dengan istilah mamak. Peran mamak dalam adat Minangkabau sangat mengikat kepada kemenakannya, bahkan melebihi peran ayah, karena ayah dianggap sebagai pendatang atau tamu di dalam suatu kaum akibat hubungan pernikahan, yang kemudian disebut sebagai urang sumando. Namun tetap harus digarisbawahi bahwa urang sumando tetaplah mamak juga di dalam kaum ibunya. Sesuai dengan ungkapan "anak dipangku, kamanakan dibimbiang" yang membedakan peran laki-laki saat menjadi seorang mamak sekaligus seorang ayah.

Dalam perkembangannya, harato pusako tinggi menjadi bumerang tersendiri dalam kondisi kekeluargaan orang Minangkabau. Harato pusako tinggi bisa jadi malapetaka bagi mereka yang serakah dan tidak menghormati sumpah nenek moyang. Tidak menutup kemungkinan jika ditemukan kondisi suatu kaum tidak memiliki anak perempuan sebagai generasi penerus untuk mewarisi harato pusako tinggi. Kondisi ini dimanfaatkan atau bahkan disengaja adanya untuk mengambil alih kepemilikan. Hal inilah yang merujuk pada perempuan yang dianggap "berharga" senilai dengan nyawa. 

Ibu bercerita, banyak mamak yang membawa lari kemenakan perempuannya ke daerah perantauan untuk menghindar dari konflik dan sengketa yang ada di ranah Minang yang memungkinkan mengancam nyawa si kemenakan. Ada mamak yang ikut serta melindungi dengan semampunya. Bahkan banyak pula mamak yang justru menjadi pelaku utama dengan membungkam si kemenakan, menggadaikan hingga menjual harato pusako tinggi demi kepentingan pribadi. Kondisi inilah yang menjadi ironi, dalam jaminan kesejahteraan yang diusahakan nenek moyang, sifat serakah manusia tidak bisa dihindari. 

Kemudian Ibu menambahkan, begitulah kemudian nasib orang yang serakah akan seperti bunyi pepatah "ka ateh indak bapucuak, kabawah indak baurek, di tangah-tangah di giriak kumbang". Artinya adalah bagian atas tidak berpucuk, bagian bawah tidak berurat, dan bagian tengah dimakan kumbang. Pepatah ini adalah bentuk sumpah dari seorang pemimpin yang diibaratkan seperti sebatang pohon yang ketika ia melanggar sumpahnya hidup akan sakit, namun tidak kunjung mati, seluruh badan yang sakit tidak ditemukan obatnya hingga ia mendapatkan maaf dari anak kemenakannya. 

Sebagai perempuan yang hidup dan tumbuh dalam budaya Minangkabau, saya menyadari akan pentingnya integritas dalam menjaga keharmonisan kekeluargaan maupun warisan kebudayaan dalam kehidupan adat istiadat masyarakat Minangkabau. Adanya harato pusako tinggi seharusnya mencerminkan kejujuran, kepercayaan, dan komitmen mempertahankan warisan dan identitas sebagai orang Minangkabau. Untuk itu juga diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran untuk selalu menghormati setiap keputusan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para leluhur, tanpa melibatkan kepentingan pribadi

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun