Mohon tunggu...
Kasiani S.ST
Kasiani S.ST Mohon Tunggu... TPP ACEH

Pendamping Lokal Desa di Manyak Payed, Aceh Tamiang. Menulis untuk mendokumentasikan kerja-kerja sunyi di desa, menyuarakan realita lapangan, dan menerjemahkan bahasa kebijakan dengan suara warga. Saya bukan jurnalis, tapi setiap hari mencatat apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan di desa. Karena yang dianggap biasa oleh orang kota, seringkali adalah perjuangan besar bagi warga desa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masihkah Kami Harus Berbakti, Refleksi Hari Bakti Pendamping Desa #KompasianaDESA

8 Oktober 2025   13:24 Diperbarui: 8 Oktober 2025   13:24 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ucapan selamat hari bakti pendamping desa (Sumber: Kemendespdt)

                                                                                                                                                                                      

7 Oktober 2025, ditetapkan sebagai Hari Bakti Pendamping Desa. Sebuah tanggal yang seharusnya menjadi momen perayaan bagi kami---para pendamping yang selama ini setia mendampingi desa, menulis laporan, menuntun langkah, sekaligus menjadi saksi sunyi perubahan di akar rumput negeri ini.Namun entah kenapa, di antara rasa bangga itu, terselip satu tanya yang lirih:
masihkah kami harus berbakti, meski kadang tak dianggap berarti?

Sejak pagi, grup WhatsApp para pendamping ramai. Ada yang membagikan foto kegiatan, ada yang menulis ucapan selamat, ada pula yang sekadar menuliskan "Selamat Hari Bakti, kawan seperjuangan." Tapi di balik semua itu, kami tahubanyak di antara kami yang menahan perasaan campur aduk. Antara bangga dan lelah, antara cinta dan kecewa.

Kami bangga karena telah menjadi bagian dari sejarah pembangunan desa. Tapi kami juga lelah karena terlalu sering berjalan dalam bayang-bayang, tak selalu dihargai, tak selalu dimengerti.
Kadang kami disebut "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi di saat yang sama, laporan kami diperiksa seolah kami tak pernah bekerja dengan benar.

Di hari yang disebut "Hari Bakti Pendamping Desa" ini, kami justru kembali menatap perjalanan panjang kami: perjalanan yang tak selalu indah, tapi selalu tulus.

Kami masih ingat, bagaimana dulu saat awal menjadi pendamping. Kami datang ke desa dengan semangat menggebu, membawa idealisme bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah. Kami belajar mendengar, menulis ulang mimpi-mimpi warga yang sering kali tenggelam di antara administrasi dan rutinitas. Kami ikut menyalakan lampu di balai desa saat rapat malam, ikut menata kursi, menyalin notulen, bahkan ikut menenangkan kepala desa yang gelisah karena laporan belum rampung.

Kami menjadi banyak hal: fasilitator, motivator, juru tulis, bahkan kadang teman curhat bagi perangkat desa yang kelelahan.
Dan kami tidak mengeluh---karena di awal kami percaya, bahwa inilah "bakti" kami.

Namun tahun demi tahun berjalan, dan kami mulai sadar: bakti yang sejati sering kali diuji dalam sunyi.
Kami harus tetap bekerja meski cuaca tak bersahabat, meski motor rusak di jalan berlumpur, meski data diubah-ubah entah kenapa, meski kami tahu laporan kami kadang hanya dibaca sepintas.
Kami tetap berbakti meski gaji tak sepadan, meski status kami "kontrak", meski besok belum tentu ada perpanjangan.

Dan kini, ketika tanggal 7 Oktober resmi disebut "Hari Bakti Pendamping Desa", sebagian dari kami tersenyum getir.
Sebab "berbakti" itu bukan sekadar kata yang manis untuk upacara, tapi perjuangan panjang yang kadang tak kelihatan.

Kami tidak menuntut banyak. Kami hanya ingin diingat---bahwa di balik data yang rapi, di balik program yang berjalan, di balik setiap peraturan yang diterjemahkan di tingkat desa, ada kami yang bekerja dengan hati. Ada kami yang menulis setiap laporan dengan jujur, bukan sekadar menggugurkan kewajiban.
Kami hanya ingin dipercaya, bahwa kami bukan sekadar pengantar surat dari pusat ke desa, tapi penghubung antara harapan dan kenyataan.

Mungkin benar, kami tidak selalu sempurna. Tapi kami tahu, tanpa pendamping, banyak proses di desa yang tak akan berjalan sebagaimana mestinya. Kami tahu bagaimana rasanya membantu BUMDes yang nyaris mati suri, atau mendampingi aparat desa yang bingung mengisi aplikasi baru. Kami tahu, setiap kemajuan desa selalu menyisakan jejak tangan pendamping di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun