Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 10

16 April 2022   13:57 Diperbarui: 27 April 2022   13:13 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Bintang, silakan diminum teh hangat ini." Suara itu mengagetkanku. Secangkir gelas keramik warna biru laut ditaruh di samping telepon. Aku menengok ke arah orang yang menyapaku.

"Pak Ma! Bapak bisa bahasa Indonesia!?" tanyaku dengan mata terbelalak kaget. Pak Ma adalah guru besar fakultas hubungan internasional tempat Kang Xi Ka kuliah. 

Para dosen yang ada di ruangan itu menengok ke arah kami dengan tersenyum. "Tentu bisa. Saya ini orang Betawi. Lahir dan besar hingga usia 19 tahun di Kebun Kacang, Jakarta Pusat," jawabnya dengan tersenyum lebar.

Setelah peristiwa pembantaian Gerakan 30 September 1965, seluruh etnis Tionghoa yang ada di Indonesia sangat dipojokkan. Sekolah berbahasa mandarin ditutup. Semua kegiatan yang berbau etnis Tionghoa pun dilarang. Bahkan nama dan bahasa percakapan pun harus diganti jadi bahasa Indonesia. 

"Bapak memilih nama Maman," ujar pak Ma dengan tertawa geli. 

Rezim orde baru tanpa alasan yang jelas mendadak mematikan kegiatan berbau etnis Tionghoa.

Tetapi, sebelumnya di rezim orde lama juga ada terjadi peristiwa berbau rasialis terhadap warga keturunan Tionghoa, karena dikeluarkannya Peraturan Pemerintah no. 10 Tahun 1959 yang isinya melarang mereka berdagang di daerah-daerah di bawah tingkat kabupaten.

Peraturan itu sebetulnya dimaksudkan terhadap orang Tionghoa yang WNA (Warga Negara Asing). Tapi, di lapangan peraturan pemerintah tersebut berimbas pada semua warga Tionghoa yang WNI yang berdagang di pedesaan.

Penerapan peraturan itu di lapangan tidak dengan teliti melihat dan cek status warga negara.

Akibat PP no. 10 tahun 1959, pemerintah Tiongkok mengirimkan kapal untuk mengangkut mereka pulang ke Tiongkok. Tetapi, kenyataannya banyak WNI keturunan Tionghoa yang ikut naik kapal itu. Tidak hanya WNA dari Tiongkok.

"Saat itu muncul istilah kaum pribumi dan non pribumi untuk semakin mendiskriminasikan WNA dari Tiongkok tetapi, berimbas juga ke WNI keturunan etnis Tionghoa. Setelah kejadian G30S-PKI, bapak sebagai anak tertua dari 12 bersaudara beserta 3 adik di bawah, dipaksa emak (nenek) untuk ikut pergi pindah ke Tiongkok. Karena, saat itu orang Indonesia keturunan Tionghoa banyak yang ramai-ramai kabur dari Indonesia dengan naik kapal ke Tiongkok. Sisa 8 saudara sekarang beranak pinak di penjuru Indonesia," kata pak Ma dengan mata terlihat berkaca-kaca. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun