Mohon tunggu...
Kartika Hayati
Kartika Hayati Mohon Tunggu... Guru

Saya merupakan seorang wanita kelahiran 1993 yang memiliki minat mendalam dalam dunia tulisan dan membaca. Kepribadian saya cukup unik, lantaran saya hanya bisa menemukan inspirasi dalam berkarya dan mengekspresikan ide-ide dalam suasana yang penuh ketenangan dan keheningan. Namun, di balik kecintaan saya pada kesunyian, saya tetap memiliki sisi yang menyukai keramaian. Hobi menulis dan membaca menjadi sarana bagi saya untuk menjelajahi berbagai pengalaman, dan juga menjadi alasan saya ada di sini. Salam kenal! :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Sebuah Ketulusan Cinta

26 September 2025   12:37 Diperbarui: 26 September 2025   12:37 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Raniaku sayang, cukup yaa nyebut-nyebut nama kak Rizki. Soalnya, kasian dianya tersedak terus setiap hari" ketawa kecilku mulai bermunculan menghiasi percakapan kami berdua.

Seperti itulah sahabatku. Kepribadian Rania memang selalu terbuka kepadaku, dia selalu bercerita kepadaku apalagi tentang kak Rizki. Kak Rizki adalah tetanggaku, dia juga sebagai kakak kelas ku sejak SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Dulunya kami akrab bahkan bisa dikatakan sangat akrab, tak jarang orang menyebut kami seperti "kakak adik". Seiring berjalannya waktu, kami yang dulunya anak-anak sekarang sudah tumbuh menjadi pria dan wanita dewasa. Itu juga yang membuat pergaulanku dan kak Rizki semakin berjarak. Perubahan itu mulai terjadi sejak kami di bangku SMA. Tetap saling sapa, hanya saja sudah tak bisa seperti dulu lagi. Meskipun demikian, pada kenyataannya kekagumanku terhadap dirinya tak pernah memudar. Perasaan ini hanya aku dan Allah yang tahu. Bahkan sampai detik ini, Rania pun tak pernah tahu.

"Ya Allah, lindungilah dia. Berikan dia petunjukMu agar senantiasa selalu berada di jalanMu. Bahagiakanlah dia, dan lapangkanlah hatinya. Aamiin..." Begitulah doaku untuknya. Aku hanya menginginkan dia bahagia. Sebenarnya, jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam aku tak hanya sebatas mengaguminya saja, tapi aku juga menyayanginya sejak aku masih kecil. Entahlah, apakah itu sebuah rasa yang diberikan seorang adik untuk kakaknya, atau sebuah rasa dari seorang wanita untuk seorang pria yang dikaguminya. Meskipun aku begitu peduli dengannya, tapi aku tak pernah berharap sedikitpun dia membalas dengan takaran yang sama. Karena bagiku, cinta itu memberi bukan meminta.

"Teeeet, teeet, teeeeet." Bel sekolah sudah berdering, itu menandakan kalau aku dan sahabatku harus menghentikan obrolan ringan ini, dan bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.

* * *

(Di rumah)

"Kamu kenapa, Dek?" tanyaku kepada adik bungsuku yang sedang duduk termenung di depan meja belajarnya.

"Nia sedih kak" jawabnya singkat sambil memeluk pinggangku.

"Loh kok, sedih.! Orang yang bergantung kepada Allah tak sepatutnya merasa sedih. Jadi, adeknya kakak jangan sedih lagi ya.." usapan tanganku mendarat di punggungnya sembari mendaratkan ciumanku di pucuk kepalanya.

"Makasih ya kak atas nasihatnya. Sebenarnya, Nia sedih karena Nia nggak bisa sepintar kakak. Padahal Nia sudah kerja keras untuk mengingat, berusaha rajin belajar setiap hari. Kalau begini terus, bagaimana masa depan Nia? Nia juga kepengen jadi guru seperti kakak" wajah adikku masih tampak jelas menunjukkan kemurungannya.

"Masa depan kita milik Allah, Dek. Kita tak pernah tahu apapun yang akan terjadi di kemudian hari. Selain rajin belajar, Nia juga harus rajin berdoaa, agar ikhtiar dan do'anya jadi seimbang. Percayalah! Permintaan iblis yg ingkar saja Allah qobulkan, apalagi permintaan adeknya kakak yang shalihah ini" pujiku padanya seraya mengelus lembut pipi gemoy miliknya. Nia adalah adikku yang terakhir. Dia gadis kecil yang shalihah. Meskipun dia baru kelas III SD, tapi dia sudah menjalankan ibadah wajib seperti mumayyiz pada umumnya. Dia menjalankan sholat, ikut berpuasa di bulan Ramadhan, rajin mengaji setiap hari, selalu jujur, dan bersikap santun dengan siapa saja. Aku sangat menyayanginya, bahkan melebihi rasa sayangku terhadap diriku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun