Mohon tunggu...
Kartika Maulida Imansari
Kartika Maulida Imansari Mohon Tunggu... -

seorang radiografer muda yang bekerja di salah satu RSUD Kalimantan Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fan Fict] Kamuflase Jiwaku dan Sang Kahlil Gibran

15 April 2013   14:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:09 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamuflase Jiwaku dan Seorang Kahlil Gibran

Peserta dengan no punggung 172

Kartika Maulida Imansari :)

(Foto)  http://www.examiner.com/images/blog/EXID16968/images/Art_by_Kahlil_Gibran_2.jpg

---------------

mimpi dia.. "bukan apa2... #entahlah... ? ! # dia !??

aku terbangun dari mimpiku, dan aku duduk di pojokan ranjang sambil mendekap bunbun, boneka kesayanganku, tak terasa manik bening mulai menetes di pelupuk mata, dan mulai membasahi pipiku.

“aku rindu dia” batinku menjerit, sambil menatap foto sang pujaan jiwa, kekasih hati, Kahlil Gibranku.

“apakah dia juga merindukanku? Apakah dia merasakan hal yang sama dengan rasaku?” Aku pun bertanya-tanya dalam hati, dan mulai mencari-cari jawaban yang takkan pernah ada jawaban apabila kita tidak menanyakan langsung terhadap orang yang kita tuju.

Beberapa minggu terakhir ini aku tak lagi berhubungan dengannnya, baik via sms, telpon, bahkan lewat jejaring sosial-pun tidak ada.

Tiba-tiba hari ini, aku memimpikannya, “ada apa dengannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sehat saja” Kembali pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dikepalaku.

Dan tentang mimpiku itupun aku share di media sosial, salah seorang temanku memberikan komentarnya, “mungkin yang dimimpikan akan segera menikah”.

Aku hanya membaca, tanpa membalas komentar itu, namun hatiku kembali bertanya-tanya.

“Kahlil Gibran ku, ada apakah gerangan sebenarnya? Mengapa sekarang aku begitu merindumu, apakah ini suatu firasat? Firasat baik ataukah buruk?” Aku terhenyak dalam lamunan-lamunan fana.

-------------------------

sekarang aku memperhatikanmu dari kejauhan... dan aku mulai merindumu…

rindu yang makin lama, makin menggebu, rasa yang sungguh membuat hidupku terasa terasing dalam riuhnya keadaan, dalam ramainya suasana.

Tak terasa 1 bulan telah berlalu, hari ulang tahunku pun telah lewat seminggu yang lalu, namun tetap saja tak ada kabar darinya, bahkan ucapan selamat ultah yang ku tunggu-tunggu pun tak ada, dia bagai gambar yang terpampang dalam figura, diam dan kaku, aku tak bisa berbicara dengannya, bukan berarti dia patung, dia hidup, namun bagai mayat hidup yang berjalan tanpa hati dalam kehidupan ini.

“Wahai pemimpin hidupku kelak. Gibran… apakah kau disana menjaga hatimu untukku, seperti aku yang membenamkan hatiku dalam samudera yang terdalam, agar tak mudah diraih oleh orang, menutupnya untuk orang lain” Selalu saja pertanyaan itu muncul lagi.

Aku diam, bukan berarti tak mehubungimu, beberapa pekan terakhir ini aku sudah puluhan bahkan ratusan kali menelponmu, namun tak bisa menyambung, aku juga mengirim mention dan wall, tapi juga tak ada balasan.

Aku hanya diam dan menungggu, dalam kepastian yang tak jelas, tiada kejelasan disini, bagai berjalan tanpa menginjak tanah, melayang-layang tanpa sayap, seakan-akan jatuh.

-------------------------------

Pulau di seberang, sekiranya bakal 4 tahun kamu menghabiskan waktumu disana untuk mengeyam pendidikan, kuliah. Harusnya barang sedetik saja kau mengingatku, namun

sepertinya itu mustahil, kamu terlalu berkelut dengan kehidupan barumu disana. Melupakan semuanya. Sudahlah, aku hanya sedikit berkeluh kesah, tulisan ini tiada berarti bagimu.

----------------------------------------

Dengan diamnya kamu…

kau menginspirasi hidupku... bermunculan berjuta-juta ide dari imajinasi yang terpendam, jangan hanya diam dan terpaku.

Akhirnya aku bisa meluapkan beberapa tulisan baru lagi, memang kevakumanku akhir-akhir ini membuat banyak orang bertanya-tanya.

---------------------------------

Aku teringat “ikuti kata hatimu, dan katakan pada dunia bahwa kaulah pemenangnya”.

Dan aku mencobanya, mengikuti keinginan-keinginanku, menentukan jalur hidupku sendiri, tanpa dipengaruhi orang lain, walaupun itu adalah kamu...

Aku mulai melangkah, menapakkan kaki ke tanah, perlahan namun pasti.

karena.. dimanapun kita melangkah, kita diberikan suatu pilihan... mulailah untuk memilih yang terbaik diantara yang terpilih...

------------------------

Baru-baru ini… aku telah mengetahui... hidupmu tak normal, lingkunganmu tak becus, dan sekarang hanya kamu lah yang bisa membuatmu bangkit. orang lain hanyalah penyokong, dan aku hanyalah seorang penonton. Aku tak bisa lagi menuntunmu, karena jalan yang kita tuju bukanlah jalan yang sama. Kamu bukan orang yang ku kenal dahulu, semua hanyalah kamuflase yang kamu buat dengan bejuta sandiwara kemunafikan. Kamu berubah, dan kamu berbeda, kamu bukan lagi Kahlil Gibran yang ku kenal dahulu. Dulu memang tujuan hidupku adalah kamu, dan tujuan hidupmu adalah aku, namun sekarang semuanya telah berbeda, sangat berbeda.

--------------------------

Akhirnya kita benar-benar berjauhan, bukan hanya jarak yang memang jauh, tautan hati kita terasa sangat berjenjang, jenjang yang membuat jari-jari hati tak bisa saling menggapai, bukan aku yang menciptakan jarak, namun kamu dan keadaanmu.

---------------------------------

Bagiku sekarang… Kamu hanya seonggok sampah yang tak berguna, kamu begitu bodoh dapat diperdaya, bukan hanya sentuhan ataupun buayan mulut-mulut manis dari perempuan-perempuan nista itu, namun juga dari zat-zat kimia yang mulai meracuni otak, tubuh dan pikiranmu.

Aku sekarang aku telah membencimu, membencimu dengan cintaku, cinta yang penuh laler dan belatung, serasa gangren yang menusuk hidung bila aku merindumu.

Kamu tahu apa yang ada di benak ku sekarang? Aku ingin merobek-robek jantungmu, membuatmu over-dosis, yang akan menghentikan jantungmu untuk memompa darah keseluruh tubuh, dengan menghentikan semuanya, aku akan melihat kematianmu, kematian yang perlahan, namun pasti, kematian yang meninggalkan dendam dan bejuta amarah dihati, kematian yang membawamu akan lebih nyaman, nyaman dalam kobaran api jahanam yang menjilat-jilat tubuhmu, jiwamu hancur lebur dalam panasnya kobaran, riuhnya teriakan mereka-mereka membuat teriakanmu begitu kecil, hampir tak terdengar, jauh dari dunia ini.

Sekarang aku menyadari, kata-kata ini hanyalah ungkapan dari bulanak-bulanak jiwa, bagai sang kahlil Gibran yang berteluk lutut dalam keadaan, dan aku yang merindu bagai pungguk.

Aku bukan Gibran, dan Gibran bukan aku, namun tak ku dustakan, aku dan dia pernah satu, aku pernah menitip hati dan cintaku untuknya, untuk Gibranku. Walau aku hanya seorang pencinta hati yang mati, tapi inilah membuat hidupku bangkit dalam jelmaan keabdian yang baru.

#“Cinta selalu tak akan pernah bisa diungkapkan dengan apapun yang sesuai dengan kehendak kita karena bahasa cinta adalah bahasa yang abstrak, bahasa yang hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang peka dan mengenal apa itu cinta” #quotes original karya sang Maestro Khalil Gibran

Sambil melambai tangan pada onggokan tanah merah, aku pun melepas segala asa ku tentangnya, tentang Gibran yang telah mati namun tetap besemayam dalam hati.

-----------------------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun