Mohon tunggu...
Kartika Ekawati
Kartika Ekawati Mohon Tunggu... -

Part time writer, full time learner. Ngawi- Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Kisahku dan Kamu, Cinta

8 Februari 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:55 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengenalmu ketika hari pertama masuk SMA. Kamu yang saat itu aku anggap seperti teman- teman sekelas lainnya. Belum tumbuh rasa aneh dalam hatiku. Rasa aneh yang justru pertama kali dirasakan oleh sahabatku, Lina. Dia, menyukaimu. Aku senang mendengarnya. Mendengarkan celotehan dan curhatannya tentangmu. Hingga terpaksa aku pun jauh mengenalmu. Ditambah lagi kamu dan aku berteman cukup dekat saat itu. Ya, lebih tepatnya teman untuk berbincang- bincang seru sebab kebetulan kita duduk bersebelahan di kelas praktek Bahasa Inggris karena abjad nama kita sama. Raisa dan Rama. Kita banyak bercerita tentang banyak hal. Mulai dari kesukaanmu akan warna merah, club kebanggaanmu Mancaster United namun pemain favoritmu malah Robin Van Persie yang justru dari Arsenal, hingga membongkar rahasia tentang fotomu yang kamu bilang sedikit aneh padahal itu sungguh memalukan bagiku. Bagaimana tidak, ekspresi wajahmu yang lebih mirip Mister Bean di foto formal SMP itu. Seperti perpaduan  antara ekspresi menahan tawa dan ekspresi menahan sesuatu yang lain lagi. Dan benar saja, kamu bilang kalau kebelet kencing saat itu. Alasanmu terdengar sangat konyol saat itu. Namun, itulah kita. Kamu dan aku yang sangat terbuka.

Hingga kejadian itupun datang. Trouble maker kelas kita, Bian, berteriak lantang didepan kelas.

“Cieee, Raisa sama Rama deket banget yaa. Ati- ati Lina cemburu lhoo”, teriak Bian saat kita sedang berbincang tentang poster jumbo Van Persie yang baru kamu dapat dari taruhan main PS.

Seketika tedegar siulan dan celotelah anak- anak yang saat itu berada dikelas. Kamu dan aku berusaha untuk tenang dan menjelaskan bahwa kita cuma teman biasa.

“Heeehh, kita itu temenan biasa yaa”, kataku. Namun justru lebih banyak siulan, gelak tawa dan ejekan dari mereka. Aku hanya tersenyum dan ikut tertawa dengan mereka. Aku tahu, mereka hanya bercanda. Akupun menganggapnya begitu, namun tidak denganmu. Kamu hanya diam dan menundukkan kepalamu. Dan Lina, dia hampir sama denganmu. Serta ekspresi wajahnya terlihat sedikit murung. Aku menghampirinya, dan merangkul bahu sahabatku itu. “Tenang, aku tidak seperti itu, sobat”, kataku padanya. Dia lantas tersenyum mendengarnya.

Dihari hari berikutnya aku tidak menyangka bahwa gosip tidak benar antara aku dan kamu semakin menyebar. Sejak kejadian itu, setiap kali aku berbicara denganmu, teman- teman dikelas memberi siulan dan sorakan. Aku tahu kamu tidak nyaman dengan itu. Aku pun juga, namun karena aku hanya menganggap mereka cuma bercanda dan diantara kita memang hanya berteman, akupun menanggapinya dengan santai. Namun agaknya berbeda denganmu, kamu mulai menghindariku. Mungkin akibat dari sifat tertutupmu, aku tidak tahu. Aku berusaha untuk bersikap biasa dan mengajakmu untuk berbincang. Namun kamu terus menghindariku bahkan menjauhiku.

****

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi perasaan aneh itu muncul. Perasaan yang selama ini aku takutkan. Perasaan membuncah saat menatap mata redupmu itu. Perasaan yang justru membuat makhluk- makhluk kecil dalam perutku ini bersorak bahagia saat teman- teman sekelas membuat gurauan tentang kita. Perasaan yang mungkin berasal justru dari seringnya teman- teman menjodoh- jodohkan aku denganmu. Perasaan yang mungkin sebuah kesalahan besar. Rama, aku menyukaimu.

Ahh, bagaimana aku mengatakan ini pada Lina. Jahatkah diriku? Aku takut membuat hatimu sakit sahabatku. Namun, aku berpikir jika tidak kukatakan sekarang pada Lina, aku takut perasaan ini akan lebih jauh bermekaran. Akhirnya kuputuskan untuk memberitahukannya.

“Aku suka sama dia”, kataku yang tak berani menatap mata Lina. Seketika kurasakan sebuah pelukan hangat. Pelukan persahabatan yang mau tak mau membuat air mata ini jatuh. Lina diam sejenak.

“Ga apa- apa. Aku tahu sejak awal”, katanya. Aku melepaskan pelukannya. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Lina berkata bahwa bagaimana bisa dua orang yang selalu di olok- olok dalam hal cinta tidak jatuh cinta satu sama lain nantinya. Dia juga berkata jika ia sudah mulai melupakan Rama. Jika masih ada rasa suka, mungkin hanya sepersepuluh saja. Itu kata Lina, sahabatku. Oh, sahabatku, maaf jika aku membuat hatimu sakit. Kamu benar- benar yang terbaik.

*****

Pernahkah kamu mencintai seseorang, hingga lupa mencintai dirimu sendiri?(*)

Kamu terus saja menjauhiku. Bahkan sekarang sudah tidak mau berbicara barang sepatah katapun kepadaku. Mana kamu yang dulu? Apa hanya gurauan teman- teman lantas kamu menjadi seperti itu?

Hingga ditahun kedua masa SMA kita, kamu dan aku tetap diam. Mungkin sedikit beruntung karena kita tidak lagi satu kelas. Tahukah kamu jika diammu itu justru membuat perasaan didalam hatiku ini terus bertanya- tanya dan bahkan membuat perasaan ini berkembang?

Kamu, terus saja cuek padaku. Tak pernah membalas sapaanku. Mengganti nomor HP hingga aku tak bisa lagi mengirim pesan maaf atas ketidaknyamanmu padaku. Meski mengirim pesan maaf pun kamu tidak pernah membalasnya.

Aku memendam perasaan ini. Seberapa sering kamu cuek padamu, aku tetap mengharapkanmu. Bukankah cinta itu gila. Ya, mungkin. Begitulah aku padamu. Hingga aku menangis ditengah malam karena perlakuanmu yang menganggapku tidak ada. Dan ketika kubuka mata pada pagi hari, kamu tetap menjadi salah satu alasan utamaku untuk datang ke sekolah.

Aku bahkan lebih mencintaimu dan lupa untuk mencintai diriku sendiri. Itulah teori Lina terhadapku. Membuat diriku terluka, padahal kamu sama sekali tak peduli. Bukankan aku jahat pada diriku sendiri? Aku bahkan tak peduli.

Pernahkan kamu mengharapkan seseorang, hingga mati rasa pada yang lain?(*)

Perasaan ini membuatku tidak waras. Aku bingung sebenarnya mantra apa yang kamu gunakan hingga membuatku seperti ini. Suatu ketika ada teman lama SD yang menyatakan perasaannya padaku. Dia bilang dia menyukaiku. Seharusnya aku senang akan itu. Namun sepertinya syaraf senangku tak berfungsi saat itu. Aku pun menolaknya. Karena kamu. Lina lagi- lagi berceloteh. Dia bilang aku ini terlalu naif. Biarlah, toh ini perasaanku. Tidak hanya itu, ada satu lagi teman kita yang menyatakan rasa sukanya padaku. Firdaus, anak kiai terkenal di daerah kita. Aku juga bingung kok bisa anak yang hafal Al-Quran dari juz 1-10 itu menyatakan cinta pada seseorang. Aku pikir anak seperti dia anti dengan yang namanya cinta. Aku tidak mau ambil pusing, aku pun menolaknya. Sekali lagi, karena kamu. Lina kini berkicau lagi. Dia bilang aku bodoh. Bodoh karena terlalu mengharapkanmu yang tidak jelas ujungnya seperti apa. Bodoh karena masih saja mengharap pada orang yang hingga saat ini tak mau berbicara denganku. Bodoh karena terus mengharap kisah semu denganku. Bodoh karena memimpikan seseorang yang sama sekali tak peduli padaku. Maaf sahabatku tapi ini masalah hati. Otakku pun tak mampu mengontrol hati ini. Maaf. Tapi yang kuharapkan cuma kamu. Hanya kamu.

Pernahkah kamu menanti seseorang, hingga waktu terpaksa menghentikanmu?(*)

Sekarang kita sudah berada ditahun ketiga masa SMA kita. Ahhh, tapi kamu masih saja mendiamiku. Sebenarnya apa salahku? Jujur, aku pernah mencoba melupakanmu. Dengan bantuan Lina yang terus saja mengenalkanku pada teman laki- lakinya. Aku terus mencoba untuk melupakanmu, namun begitu hebatnya kamu yang selalu menang dihatiku. Aku lelah melupakanmu. Hingga aku memilihmu lagi yang masih saja diam. Apa hanya karena kamu risih dengan gosip yang sudah terkelupas jaman itu? Ahh, bukan itu yang kupikirkan sekarang. Hal yang belakangan ini menghantuiku adalah waktu kita di sekolah ini sudah tak lama lagi. Artinya, aku akan jarang bertemu denganmu. Aku sempat berpikir apakah sebaiknya aku menytakan cinta padamu? Ahh, tapi aku ini seorang perempuan. Tidak mungkin aku memulainya. Tapi jika tidak, kamu bahkan tidak akan pernah tahu perasaanku. Tapi disisi lain, disisi yang selalu aku hindari, mungkin sikap diammu itu berarti kamu tidak suka padaku. Dan hanya diam yang menjadi senjatamu. Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk mengatakannya. Aku takut. Takut jika jawaban yang tak ingin kudengar justru kelur dari mulutmu. Kamu tahu, canda, tawa, air mata, sakit hati dan rasa cemburu pernah kamu berikan padaku. Aku senang kamu memperkenalkannya padaku. Meskipun beribu sakit yang kadang aku terima secara kurang ‘adil’, namun aku menyukainya. Entah sampai kapan. Aku memendam ini. Dan entah  kapan, kamu menjadi Rama yang dulu. Sosok yang yang hangat, khusunya terhadapku. Serta entah sampai kapan, rasa ini terus mengalir. Bagiku, mungkin seperti debu. Cinta tidak akan hilang sekuat apapun kita memaksanya. Dan mungkin, itulah aku...kepadamu.

By Kartika Ekawati

(*)cr : let me free

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun