Mohon tunggu...
Kartika Ekawati
Kartika Ekawati Mohon Tunggu... -

Part time writer, full time learner. Ngawi- Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

It Has To Be You

5 Januari 2012   13:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13257694511738675129

karena cinta tak pernah salah. tak pernah salah melihat pun memilih. hanya keegoisan jiwa yang tega mencampuri kesuciannya.

.........

sreek sreek sreek Suara gesekan sepatu terdengar sangat miris di telinga siapa saja yang lalu lalang di halaman depan kampus Hukum itu. Sang pemilik itu tak sadar akan perbuatannya. Pikirannya hanya tertuju pada makhluk yang dianggapnya sungguh menyebalkan, Megan. Makhluk yang notabenenya adalah sahabatnya sendiri sejak dua semester ini. Berkali kali gadis ini melepas kacamata minus tag haurerKW miliknya untuk mengelap keringat di daerah wajah saking gusarnya.Kalau kau nanti datang dengan tampang cengengesanmu itu, jangan harap besok kau masih bisa tertawa lepas,pikir gadis itu. "Oh jadi begitu ya mas. Saya jadi malu dibilang begitu, semoga tidak malu- maluin ya mas" "Tenang saja, saya yakin dek Megan pasti bisa. Kemarin saya juga sudah liat penempilan adik kok" Terdengar jelas obrolan dua insan yang sepertinya sudah akrab itu. Seketika gadis berkacamatatag haureritu pun menoleh ke sumber suara. Ia kenal betul dengan suara renyah dari salah satu pembicara itu. Membuat ia naik pitam ingin segera 'mencengkeramnya', Megan!!. Namun ketika ia menoleh ke sumber suara, darahnya turun lagi mencapai kaki hingga membuat keringat dingin keluar dan lidahnya sedikit kelu. "Hei Freya, maaf udah nunggu lama. Gue tadi ada rapat mendadak dengan Mas Adit", ucap Megan polos. Laki- laki yang merasa disebut namanya itu tersenyum simpul. Ya, Megan memang sangat terkenal dikalangan kakak tingkat karena kecakapan berbicaranya seta sifatnya yang humoris. "Err ti..tidak apa-apa kok. Aku baru sebentar nunggu disini", dusta Freya. "O, ini yang namanya dek Freya yang tadi kamu ceritain. Namanya unik", sambung laki- laki tampan bertubuh tinggi tegap disamping Megan itu. "Iya mas. Tapi beda sama orangnya, orangnya mah aneh", canda Megan dengan logat Sundanya hingga membuat laki- laki bernama Adit itu itu tertawa. Freya yang dijadikan obyek candaan Megan hanya bisa tersenyum kecut sambil menundukkan wajahnya. Bukan karena malu namun ingin menutupi wajahnya yang mungkin sudah seperti udang rebus. "Yaudah deh, aku pulang duluan ya. Bye Megan, Freya", ucap Adit setelah menghetikan tawanya tadi. "Bye", ucap Megan dan Freya hampir beramaan. Setelah bayangan Adit menghilang, Freya menatap Megan tajam. "Ku maafkan kau kali ini. Tapi jika kau membuatku menunggu lagi, akan kupatahkan hidung pesekmu itu!!", sengit Freya seraya meninggalkan Megan yang masih mematung. "Hei hei hei, lo bilang tadi ga apa- apa. Dasar kepribadian ganda. Hei tunggu aku..!!", teriak Megan berlari menyusul sahabatnya. Freya hanya tersenyum dan geleng- geleng kepala mendengar celotehan sahabatnya. Ya, Freya, gadis pemalu sekaligus cuek itu luluh akan pesona laki- laki yang sejatinya kakat tingkat 1 tahun diatasnya yang sekaligus tim basket inti andalan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu. Hanya pada Megan saja Freya bisa cerewet dan sadis.

...........

Langit cerah menemani Minggu pagi di akhir bulan Juni ini. Buku karangan Mao Zedong berjudul Chairman Mao’s Poem berada pada genggaman Freya yang tengah duduh santai di pelataran depan gedung bertuliskan Widya Puraya tersebut. Pandangannya tak sedikitpun lepas dari tulisan berjajar rapi di buku tersebut. Hanya tersisa satu halaman dari buku tersebut yang dengan seketika dilahap habis olehnya. Freya menghembuskan nafas panjang dan menyibakkan rambut sebahunya ke belakang telinga yana tertimpa angin sepoi- sepoi pagi itu. Tampaknya ia merasa bosan karena tidak ada lagi buku yang bisa menemaninya seraya menunggu Megan yang sedang lari pagi. Ingin ikut lari pagi pun malas karena lari merupakan olahraga yang dibencinya. Bukan karena apa- apa, namun karena ada masalah perut yang kadang terasa perih luar biasa saat berlari. Freya memutuskan untuk duduk sambil melihat para lansia yang sedang senam aerobic di lapangan Widya Puraya yang letaknya tepat di depan pelataran tempatnya berada. Namun tiba- tiba pandangannya beralih pada segerombolan mahasiswa dengan kaos olahraga berlambangkan logo Universitas Diponegoro yang sepertinya sedang istirahat setelah berlari pagi. Awalnya Freya tidak menghiraukan gerombolan itu sampai pada akhirnya pandangannya tertuju pada salah satu laki- laki diantara gerombolan itu. Seakan tersihir, pandangannya tak lepas dari laki- laki bertubuh tinggi tegap dan berkulit sawo matang yang sedang duduk santai tertawa lepas dengan teman- temannya. Wajahnya yang bersih dihiasi dengan hidungnya yang mancung sempurna membuat jantung Freya tiba- tiba berdegup kencang. Dan yang membuatnya tak sadar akan kelakuannya adalah mata laki- laki itu yang seakan megisyaratkan semua tentang dirinya. Lembut dan ramah. Tanpa Freya sadari, laki- laki itu mengalihkan pandangannya dari teman- temannya ke arah Freya. Freya sedikit terkejut lalu serta merta mengarahkan pandangannya ke obyek yang lain. Setelah beberapa detik, Freya memberanikan diri untuk melihatnya lagi dan ternyata laki- laki itu tersenyum simpul ke arah Freya. Freya salah tingkah dibuatnya dan berusaha untuk bersikap normal. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Saat akan melihatnya lagi untuk membalas senyumnya, laki- laki ternyata sudah bangkit dan akan melanjutkan lari paginya. Freya mendengus kesal. Lalu ia sadar akan sesuatu, cowok itu di fakultas apa?, pikirnya dalam hati. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah celana training yang dipakai gerombolan laki- laki itu. Freya memicingkan matanya dan membaca tulisan vertikal di sisi samping celana training itu, “FAKULTAS EKONOMI”, bisiknya lalu tersenyum puas. Tuhan, aku harap bisa bertemu dengannya lagi, bisik Freya dalam hati.

................

Aku bahkan masih dapat mengingat jelas senyummu dimemori otakku. Ukiran senyum indah yang berhasil membuat dada ini sesak akn energi kehangatanmu. Senyun yang entah kapan bisa ku temui kembali. Mungkin suatu hari nanti. Batin Freya saat hendak tidur malam itu.

...............

Dua bulan berlalu setelah kejadian itu. Freya pun seakan lupa akan kejadian tersebut. Namun siapa tahu bahwa hatinya masih menyimpan dan membungkus memori indahnya. Hanya butuh sedikit sentilan pengingat.

“Dari kemarin senyum- senyum sendiri, ada apaan sih?” tanya Megan saat mereka duduk di gazebo kampus sambil menikmati ice cream yang dibelinya di kantin.

“Biasa aja kok”, cetus Freya.

“Cerita- cerita kek kalo lagi seneng, lo ngangger gue apa, huh? Gue tu karib lo dari lo cupu sampe sekarang yang masih juga cupu kali”, sungut Megan.

“Aisshh berisik, diam aja deh”, ketus Freya.

“Yeee, dibilangin juga”, seru Megan sambil menoyor kepala Freya. Freya ingin membalas namun Megan menghindar.

“Tunggu dulu deh Fre, gue mau ngasih info nih. Ntar sore mas Adit dkk mau tanding basket sama anak Ekonomi”, kata Megan santai

“Udah tau kok. Dari mading”

“Oooh..eh kemaren mas Adit juga nyuruh gue ngajakin elo”. Freya mengernyitkan alisnya.

Ha? Ngajakin aku? Berarti mas Adit masih inget namaku. Inget aku?, batin Freya lalu tersenyum senang.

“Heh, gimana? Senyam- senyum”, cerca Megan

“Yaudah, kita ninton. Sekali- kali dukung basket Fakultas”, kata Freya berusaha santai menjawab pertanyaan Megan.

“Lhoh? Tumben. Kenapa lo?”

“Gapapa, stock buku bacaan aku habis, daripada nelamun di kost coba”, jawab Freya asal.

................

Priiiitt priitt priiiitt

Peluit tanda berakhirnya pertandingan memecahkan suasana hangat di sore itu. Riuh penonton menggema di iringi tepuk tangan tanda penghormatan kepada para pemain di indoor stadium gedung Fakultas Hukum. Pertandingan kali ini dimenangkan oleh tim basket Fakultas Hukum dengan skor tipis 65-62. Para pemain dari Fakultas Hukum yang memakai kaos biru tampak sangat puas dengan hasil itu mengingat pertandingan yang berjalan 4x10 menit itu berlansung ketat. Freya dan Megan yang duduk dibangku penonton pun tah kalah senang. Tak sia- sia usaha Megan selama pertandingan bersorak- sorak meneriakkan yel- yel untuk timnya dan Freya yang duduk sambil berdoa dalam hati.

“Mas Adit”, teriak Megan setelah para penonton brangsur- angsur keluar ruangan.

Laki- laki yang bernomor punggung 17 itu menoleh ke arah sumber suara lalu seketika tersenyum lebar. Freya yang berada di samping sumber suara tersenyum malu melihat senyuman itu.

Adit lalu berjalan menghampiri Freya dan Megan. Namun ia terlihat menggandeng seorang gadis yang berwajah Indo. Senyum Freya sedikit memudar ketika melihat dua tangan saling bertautan seperti itu.

“Hei Megan, makasih udah dateng. Bawa temennya juga. Aaduh, siapa namanya? Aku lupa”, ucap Adit dengan wajah tanpa dosa.

Lupa? Apa- apaan ini? Bukannya dia yang nyuruh dateng? Aisshh, batin Freya.

“Namanya Freya mas”, jawab Megan santai.

“Ahh, iya Freya. Ohya, kenalin, ini pacar saya yang baru pulang dari Aussie, Emillie”.

Deg.

Pacar. Kata- kata Adit membuat Freya terkejut. Freya berusaha untuk membendung air matanya dan mencoba untuk tersenyum.

“Selamat mas”, ujarnya.

“Makasih ya dek Freya”, bals Adit sambil tersenyum.

................

Huh. Ingat padaku? Ingat namaku saja tidak. Seharusnya aku sadar kalau Megan itu memang suka berlebihan. Batin Freya yang terus menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu percaya dengan candaan Megan. Sudah satu minggu kejadian tersebut berlangsung namun masih jelas dalam ingatan Freya. Hujan yang kini sedang dipandaginya pun tak juga mampu menghapus ingatan itu. Di sebuah halte, terjebaklah gadis itu dalam lamunannya hinnga tak sadar air mtanya mengalir. Tiba- tiba deru motor datang mendekat dan mati ketika sampai disamping halte. Sang pengendara turun dari atas motor hitamnya untuk berlindung dari guyuran hujan yang saat itu memang lumayan deras. Freya msih saja asyik dengan lamunannya hingga tiba- tiba uluran sapu tangan membuatnya sedikit tersentak.

“Percuma, sekeras apapun kau menangis tak akan mengalahkan banyaknyaknya air hujan”, ujar seseorang yang mengulurkan sapu tangan pada Freya.

Freya menoleh pada sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya ia melihat siapa yang di ada di hadapannya.

“Kau...”, bisiknya.

“Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Aku pikir indoor stadium Fakultas Hukum bakal jadi tempat pertemuan terakhir”, kata orang tersebut.

“Maksud...” tanya Freya bingung.

“Kau sama salah tingkahnya seperti pertama kali bertemu di Widya Puraya”, lanjutnya sambil tersenyum simpul.

“Aku..”, jawab Freya setengah tidak percaya. Laki- laki itu, Fakultas Ekonomi, Widya Puraya. Ya, laki- laki dengan mata indah itu.

Laki- laki itu tersenyum sambil memandang hujan. Seakan menunggu respon dari kebingungan Freya. Freya menerima sapu tangan itu lalu segera  menyeka air matanya.

indoor stadium..”, tanya Freya.

“Ya, aku melihatmu disana. Tapi kau seperti sibuk sendiri memandangi pemain benomor 17 itu. Sampai- sampai kau tak mengenaliku yang ikut bermain sebagai kaptendisitu”, kata laki- laki itu sambil tersenyum.

“Jadi itu yang membuat konsentarsimu pecah dan membuat timmu kalah?”, canda Freya hingga membuat mereka berdua tertawa.

Laki- laki itu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri.

“Raka”

Freya tersenyum sambil menyambut uluran tangannya.

Karena Tuhan selalu mendengar apa harapan dan doa kita. Sadar ataupun tidak sadar. Kita hanya perlu melapangkan dada dan mencoba menarik urat sabar kita

.........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun