Tamparan yang Menyadarkan: Ketika Restorative Justice Masuk ke Sekolah
“Keadilan sejati bukan untuk menghukum, tetapi memulihkan kepercayaan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan: Dari Krisis ke Kesadaran Baru
Apakah sebuah tamparan bisa menjadi awal rekonsiliasi dalam pendidikan? Kasus Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Pitria, yang sempat viral karena menegur dan menampar siswa pada 10 Oktober 2025, berakhir damai melalui mekanisme restorative justice (Kompas.com, 16/10/2025). Dalam peristiwa itu, masyarakat disuguhi pelajaran penting: menegakkan disiplin tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.
Kedua pihak, guru dan siswa, saling meminta maaf dalam suasana yang tulus. Proses ini melibatkan pemerintah daerah, orang tua, dan organisasi guru, hingga melahirkan kesepakatan damai. Kasus yang sempat memanas menjadi inspirasi tentang pentingnya dialog dalam menyelesaikan konflik di sekolah.
Penulis tertarik mengulasnya karena isu ini menyentuh jantung dunia pendidikan: relasi saling percaya antara guru dan murid. Di tengah banyaknya kasus kekerasan yang berujung pidana, Cimarga justru memperlihatkan sisi lembut dari keadilan yang memulihkan.
1. Dari Teguran ke Kesalahpahaman Publik
Semuanya berawal dari tindakan tegas kepala sekolah menegur siswa yang merokok di area sekolah—pelanggaran yang jelas dilarang. Namun, teguran itu berubah sorotan publik ketika disertai sentuhan fisik yang dianggap berlebihan. Dalam hitungan jam, media sosial mengubahnya menjadi polemik nasional.
Padahal, di balik peristiwa itu, ada niat pendidikan yang sebenarnya sederhana: membiasakan disiplin. Sayangnya, konteks moral sering hilang dalam kebisingan opini. Inilah ujian bagi dunia pendidikan modern: bagaimana menegakkan ketertiban tanpa menimbulkan salah tafsir.
Kasus Cimarga mengingatkan bahwa setiap tindakan pendidik kini hidup di bawah lensa publik. Karenanya, pendidikan harus beradaptasi—bukan dengan ketakutan, tapi dengan transparansi dan empati.
2. Restorative Justice: Jalan Tengah yang Menyejukkan
Ketika isu memanas, pendekatan hukum bukan satu-satunya pilihan. Pemerintah Banten memilih mekanisme restorative justice, menghadirkan guru, siswa, orang tua, dan pejabat pendidikan. Hasilnya bukan penghakiman, melainkan pemulihan hubungan sosial.
Pendekatan ini menegaskan bahwa dunia pendidikan tidak butuh saling menyalahkan, tetapi saling memahami. Siswa tetap mendapat pembinaan karakter, kepala sekolah pun diberi kesempatan refleksi tanpa kehilangan martabat profesinya. Semua pihak belajar dari satu peristiwa yang sama.
Inilah esensi restorative justice: memulihkan rasa hormat, bukan sekadar menutup kasus. Sekolah menjadi ruang tumbuh kembali, bukan arena dendam.
3. Disiplin yang Mendidik, Bukan Menghukum
Dinas Pendidikan Banten memastikan sanksi kepada siswa yang merokok dilakukan secara edukatif. Tidak ada kekerasan, melainkan pendampingan intensif oleh guru BK dan orang tua. Ini langkah yang patut diapresiasi: disiplin dikembalikan ke nilai pembinaan.
Bagi kepala sekolah, peristiwa ini menjadi refleksi untuk menemukan kembali makna ketegasan yang manusiawi. Dunia pendidikan memang menuntut ketegasan, namun batasnya bukan pada kerasnya tindakan, melainkan kedalaman empati.
Dari sini kita belajar: disiplin yang lahir dari cinta jauh lebih berdaya tahan daripada hukuman yang lahir dari amarah.
4. Keteladanan dan Keberanian Meminta Maaf
Salah satu momen paling berharga dalam kasus ini adalah saat kepala sekolah dan siswa saling meminta maaf. Dini Pitria berkata, “Ibu juga minta maaf, semoga di hati kamu lukanya hilang.” Kalimat sederhana, tapi sarat kemanusiaan.
Di tengah sorotan publik, keberanian meminta maaf adalah bentuk keteladanan moral. Ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan kepemimpinan sejati. Guru yang mau belajar dari kesalahan justru sedang mendidik dengan cara paling luhur: dengan hatinya sendiri.
Sikap inilah yang menghidupkan kembali kepercayaan di antara warga sekolah. Cimarga pulih bukan karena aturan, tetapi karena ketulusan manusia.
5. Pelajaran untuk Sekolah di Seluruh Indonesia
Kasus ini menjadi refleksi bagi sekolah-sekolah lain untuk memperkuat budaya dialog. Disiplin penting, tetapi komunikasi dan empati jauh lebih mendasar. Restorative justice di Cimarga bisa menjadi model nasional untuk penyelesaian konflik di dunia pendidikan.
Ketika guru, murid, dan orang tua duduk sejajar, keadilan menemukan bentuknya yang paling indah. Sekolah menjadi ruang tumbuh karakter, bukan arena saling menghukum.
Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan menuntun tumbuhnya budi pekerti, bukan menundukkan manusia.”
Menutup Luka, Menumbuhkan Kepercayaan
Pendidikan bukan sekadar soal benar dan salah, tetapi tentang keberanian untuk memperbaiki yang retak. Kasus Cimarga menegaskan: bahkan dari konflik, nilai-nilai kemanusiaan bisa tumbuh lebih kuat.
Seperti dikatakan Mahatma Gandhi, “Keadilan yang sejati adalah ketika cinta mampu mengatasi kemarahan.” Semoga Cimarga menjadi inspirasi agar sekolah di Indonesia lebih memanusiakan proses belajar. Wallahu a'lam.
Disclaimer: Artikel ini disusun sebagai refleksi pendidikan, tidak bermaksud menilai individu atau lembaga mana pun.
Daftar Pustaka:
- Kompas.com. (2025, 16 Oktober). Kepala SMAN 1 Cimarga Tampar Siswa Berujung Damai lewat Restorative Justice. https://www.kompas.com/tren/read/2025/10/16/194500465/
- Kompas.id. (2025). Islah di Sekolah, Orang Tua Cabut Laporan.
- Kemendikbudristek. (2023). Panduan Sekolah Ramah dan Restoratif.
- PGRI Banten. (2025). Catatan Refleksi Kasus Disiplin SMAN 1 Cimarga.
- Freire, P. (2000). Pedagogy of Freedom. Continuum Publishing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI