Kasus Cimarga mengingatkan bahwa setiap tindakan pendidik kini hidup di bawah lensa publik. Karenanya, pendidikan harus beradaptasi—bukan dengan ketakutan, tapi dengan transparansi dan empati.
2. Restorative Justice: Jalan Tengah yang Menyejukkan
Ketika isu memanas, pendekatan hukum bukan satu-satunya pilihan. Pemerintah Banten memilih mekanisme restorative justice, menghadirkan guru, siswa, orang tua, dan pejabat pendidikan. Hasilnya bukan penghakiman, melainkan pemulihan hubungan sosial.
Pendekatan ini menegaskan bahwa dunia pendidikan tidak butuh saling menyalahkan, tetapi saling memahami. Siswa tetap mendapat pembinaan karakter, kepala sekolah pun diberi kesempatan refleksi tanpa kehilangan martabat profesinya. Semua pihak belajar dari satu peristiwa yang sama.
Inilah esensi restorative justice: memulihkan rasa hormat, bukan sekadar menutup kasus. Sekolah menjadi ruang tumbuh kembali, bukan arena dendam.
3. Disiplin yang Mendidik, Bukan Menghukum
Dinas Pendidikan Banten memastikan sanksi kepada siswa yang merokok dilakukan secara edukatif. Tidak ada kekerasan, melainkan pendampingan intensif oleh guru BK dan orang tua. Ini langkah yang patut diapresiasi: disiplin dikembalikan ke nilai pembinaan.
Bagi kepala sekolah, peristiwa ini menjadi refleksi untuk menemukan kembali makna ketegasan yang manusiawi. Dunia pendidikan memang menuntut ketegasan, namun batasnya bukan pada kerasnya tindakan, melainkan kedalaman empati.
Dari sini kita belajar: disiplin yang lahir dari cinta jauh lebih berdaya tahan daripada hukuman yang lahir dari amarah.
4. Keteladanan dan Keberanian Meminta Maaf
Salah satu momen paling berharga dalam kasus ini adalah saat kepala sekolah dan siswa saling meminta maaf. Dini Pitria berkata, “Ibu juga minta maaf, semoga di hati kamu lukanya hilang.” Kalimat sederhana, tapi sarat kemanusiaan.