Di tengah sorotan publik, keberanian meminta maaf adalah bentuk keteladanan moral. Ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan kepemimpinan sejati. Guru yang mau belajar dari kesalahan justru sedang mendidik dengan cara paling luhur: dengan hatinya sendiri.
Sikap inilah yang menghidupkan kembali kepercayaan di antara warga sekolah. Cimarga pulih bukan karena aturan, tetapi karena ketulusan manusia.
5. Pelajaran untuk Sekolah di Seluruh Indonesia
Kasus ini menjadi refleksi bagi sekolah-sekolah lain untuk memperkuat budaya dialog. Disiplin penting, tetapi komunikasi dan empati jauh lebih mendasar. Restorative justice di Cimarga bisa menjadi model nasional untuk penyelesaian konflik di dunia pendidikan.
Ketika guru, murid, dan orang tua duduk sejajar, keadilan menemukan bentuknya yang paling indah. Sekolah menjadi ruang tumbuh karakter, bukan arena saling menghukum.
Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan menuntun tumbuhnya budi pekerti, bukan menundukkan manusia.”
Menutup Luka, Menumbuhkan Kepercayaan
Pendidikan bukan sekadar soal benar dan salah, tetapi tentang keberanian untuk memperbaiki yang retak. Kasus Cimarga menegaskan: bahkan dari konflik, nilai-nilai kemanusiaan bisa tumbuh lebih kuat.
Seperti dikatakan Mahatma Gandhi, “Keadilan yang sejati adalah ketika cinta mampu mengatasi kemarahan.” Semoga Cimarga menjadi inspirasi agar sekolah di Indonesia lebih memanusiakan proses belajar. Wallahu a'lam.
Disclaimer: Artikel ini disusun sebagai refleksi pendidikan, tidak bermaksud menilai individu atau lembaga mana pun.
Daftar Pustaka:
- Kompas.com. (2025, 16 Oktober). Kepala SMAN 1 Cimarga Tampar Siswa Berujung Damai lewat Restorative Justice. https://www.kompas.com/tren/read/2025/10/16/194500465/
- Kompas.id. (2025). Islah di Sekolah, Orang Tua Cabut Laporan.
- Kemendikbudristek. (2023). Panduan Sekolah Ramah dan Restoratif.
- PGRI Banten. (2025). Catatan Refleksi Kasus Disiplin SMAN 1 Cimarga.
- Freire, P. (2000). Pedagogy of Freedom. Continuum Publishing.