Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Negara Menalangi Kelalaian, Di mana Letak Keadilan Fiskal Kita?

14 Oktober 2025   08:27 Diperbarui: 14 Oktober 2025   08:27 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viral Foto-foto Pesantren Al Khoziny Sebelum Roboh, Tak Dirancang untuk Bangunan Tinggi. (Foto: WartaKota Live.com)

Saat Negara Menalangi Kelalaian, Di Mana Letak Keadilan Fiskal Kita?
Empati adalah panggilan hati; akuntabilitas adalah panggilan nurani.”

Oleh Karnita

Ketika Empati Bersinggungan dengan Akuntabilitas Publik

Apakah pantas uang rakyat digunakan untuk membangun ulang bangunan yang roboh karena kelalaian? Pertanyaan ini mengemuka setelah berita bertajuk “Rencana Pembangunan Ulang Pesantren Al-Khoziny Pakai APBN Dinilai Kurang Tepat” dimuat di Republika.co.id pada 10 Oktober 2025. Kasus ambruknya mushalla di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan puluhan santri, menimbulkan duka mendalam sekaligus polemik baru di ranah kebijakan publik.

Sebagai peristiwa kemanusiaan, tragedi ini jelas mengundang simpati. Namun, ketika pemerintah berencana menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun ulang pesantren tersebut, publik pun bertanya: apakah empati dapat dijadikan dasar kebijakan fiskal tanpa batas? Di sinilah dilema antara solidaritas kemanusiaan dan disiplin anggaran negara bertemu.

Penulis tertarik membahas isu ini karena polemiknya tidak hanya menyentuh aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga moral publik. Di tengah meningkatnya kesadaran transparansi fiskal, kebijakan ini menjadi cermin bagaimana negara menempatkan rasa iba di hadapan prinsip keadilan anggaran. Relevansinya terasa kuat, sebab kasus ini bisa menjadi preseden bagi kebijakan serupa di masa depan: apakah setiap kelalaian boleh ditebus oleh uang rakyat?

1. Bencana atau Kelalaian? Titik Awal Penilaian Moral dan Fiskal

Perbedaan antara bencana alam dan kelalaian manusia menjadi fondasi etik dalam kebijakan publik. Bila mushalla Pesantren Al-Khoziny roboh akibat gempa atau banjir, maka tanggung jawab negara bersifat wajar dan konstitusional. Namun, jika penyebabnya adalah konstruksi yang buruk, lemahnya pengawasan, atau pelanggaran prosedur bangunan, maka logika penggunaan APBN harus diuji secara moral dan hukum.

Seperti ditegaskan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat (UPN Veteran Jakarta), “negara tidak bisa menjadi penebus dosa atas kelalaian privat.” Pernyataan ini menyoroti bahwa setiap kebijakan berbasis empati harus tetap tunduk pada asas akuntabilitas fiskal. Mengabaikannya berarti membuka ruang moral hazard institusional —di mana kelalaian dianggap bisa ditebus dengan kas negara.

Dalam konteks ini, pembangunan ulang tanpa audit penyebab akan menimbulkan preseden berbahaya. Bukan hanya soal dana, tetapi soal pesan moral kepada publik: bahwa kelalaian dapat dimaklumi selama memiliki nilai sosial. Ini bertentangan dengan prinsip hukum dan tata kelola keuangan negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23 UUD 1945.

2. Antara Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Fiskal

Tidak ada yang menolak bantuan bagi korban tragedi Al-Khoziny. Namun, perlu dibedakan antara bantuan kemanusiaan dan pembangunan fisik. Bantuan bagi keluarga korban, pemulihan psikologis santri, dan dukungan sosial tentu wajib dilakukan. Akan tetapi, pembangunan fisik kembali dengan APBN menuntut dasar hukum dan audit publik yang jelas.

Negara memang harus hadir, tetapi kehadiran itu harus disertai prinsip keadilan dan transparansi. Bila langkah ini dilakukan tanpa investigasi menyeluruh, maka kehadiran negara justru menjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian fiskal (prudential principle). Dalam konteks tata kelola, setiap dana publik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat, bukan sekadar dijalankan atas nama “darurat.”

Empati yang tidak dibingkai akuntabilitas justru dapat menciptakan ketimpangan moral. Bayangkan jika semua lembaga yang lalai bisa meminta bantuan negara, maka APBN akan menjadi alat penyelamat sistem yang salah. Bukankah keadilan fiskal seharusnya menjaga agar uang rakyat digunakan untuk memperbaiki sistem, bukan menalangi kesalahan sistem itu sendiri?

3. Batas antara Lembaga Privat dan Kepentingan Publik

Pesantren memiliki peran strategis dalam pendidikan moral dan sosial. Namun secara hukum, pesantren tetap merupakan lembaga privat. Artinya, negara memiliki kewenangan terbatas dalam hal pembiayaan infrastruktur kecuali dalam program yang diatur Kementerian Agama. Ketika Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengambil alih pembangunan ulang, muncul pertanyaan: di mana batas yurisdiksi dan dasar hukumnya?

Kehadiran Menteri PU Dody Hanggodo yang menyatakan pembangunan ulang akan dibiayai dari APBN menandai niat baik, namun berpotensi membuka celah tumpang tindih anggaran antar kementerian. Secara administratif, langkah itu menyalahi prinsip efisiensi karena menempatkan program sosial ke dalam sektor konstruksi publik tanpa payung hukum eksplisit.

Ketika negara melangkahi batas itu, ia berisiko mengaburkan garis antara solidaritas sosial dan tanggung jawab kelembagaan. Sebab, keadilan fiskal bukan tentang seberapa besar empati pemerintah, melainkan seberapa tepat empati itu ditempatkan dalam sistem keuangan publik.

4. Dari Empati ke Reformasi: Pelajaran dari Tragedi

Tragedi Al-Khoziny seharusnya menjadi momentum pembenahan sistemik, bukan hanya proyek pembangunan ulang. Pemerintah dapat menjadikannya pintu masuk untuk melakukan audit konstruksi lembaga pendidikan keagamaan, memperkuat standar keamanan bangunan pesantren, dan mengedukasi pengelola tentang manajemen risiko.

Alih-alih menggelontorkan dana besar untuk satu lokasi, negara dapat membangun program nasional “Pesantren Aman Bangunan Selamat” dengan fokus pada pencegahan dan peningkatan standar teknis. Langkah seperti ini sejalan dengan prinsip reconstruction with responsibility, sebagaimana disampaikan Achmad Nur Hidayat.

Empati yang berbuah kebijakan sistemik akan melahirkan keberlanjutan. Sedangkan empati yang hanya berwujud proyek fisik tanpa refleksi kebijakan, berisiko menjadi politik citra. Tragedi seharusnya menjadi bahan introspeksi publik, bukan pembenaran bagi pelonggaran tata kelola fiskal.

5. Rekonstruksi Tanpa Refleksi: Bahaya Preseden Baru

Kebijakan pembangunan ulang Pesantren Al-Khoziny dengan APBN menyimpan potensi preseden yang tidak sehat bagi tata kelola negara. Jika kelalaian dapat ditebus oleh uang publik, maka pesan moralnya jelas: “asal bernilai sosial, semua boleh disubsidi.” Padahal fungsi APBN bukan untuk menyembunyikan kesalahan, melainkan memperbaiki sistem agar kesalahan tidak berulang.

Lebih jauh, keputusan tergesa-gesa tanpa hasil penyelidikan final dapat memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah. Transparansi dan kejelasan dasar hukum adalah kunci menjaga kredibilitas negara dalam mengelola anggaran. Kemanusiaan tanpa akuntabilitas hanya akan melahirkan empati yang timpang, di mana belas kasihan mengalahkan keadilan fiskal.

Inilah ujian sejati bagi negara hukum: mampu menghadirkan empati tanpa kehilangan integritas fiskal. Sebab sebagaimana dikatakan John Rawls, “Keadilan adalah kebajikan utama dari institusi sosial, sebagaimana kebenaran bagi sistem pemikiran.”

Membangun dari Nurani, Bukan dari Simpati Saja

Bangunan Ponpes Al Khoziny. (Google Maps)
Bangunan Ponpes Al Khoziny. (Google Maps)

Tragedi adalah panggilan hati, tetapi kebijakan adalah panggilan nurani. Negara boleh bersimpati, namun tidak boleh kehilangan arah dalam menjaga amanah publik. Pembangunan ulang Pesantren Al-Khoziny mestinya menjadi momentum memperkuat akuntabilitas sosial dan teknokrasi fiskal, bukan sekadar penebusan rasa bersalah kolektif.

Empati sejati tidak berhenti pada proyek, melainkan berlanjut pada perbaikan sistem. Sebab, seperti kata Mahatma Gandhi, “Kemanusiaan tidak dapat ditegakkan di atas pondasi yang retak oleh kelalaian.” Maka, mari membangun dengan nurani—bukan sekadar simpati. Wallahu a'lam

Disclaimer:
Tulisan ini bersifat opini analitis untuk tujuan edukatif dan reflektif. Tidak dimaksudkan untuk menuduh pihak mana pun, melainkan mengajak publik menimbang batas empati dan akuntabilitas dalam kebijakan fiskal negara.

Daftar Pustaka

  1. Eva Rianti & Friska Yolandha. (2025, 10 Oktober). Rencana Pembangunan Ulang Pesantren Al-Khoziny Pakai APBN Dinilai Kurang Tepat. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/s0x2aa457
  2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 23.
  3. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
  4. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2025). Pernyataan Pers Menteri PU tentang Revitalisasi Ponpes Al-Khoziny. www.pu.go.id
  5. Achmad Nur Hidayat. (2025). Refleksi Kebijakan Publik dan Akuntabilitas Fiskal. UPN Veteran Jakarta Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun