2. Antara Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Fiskal
Tidak ada yang menolak bantuan bagi korban tragedi Al-Khoziny. Namun, perlu dibedakan antara bantuan kemanusiaan dan pembangunan fisik. Bantuan bagi keluarga korban, pemulihan psikologis santri, dan dukungan sosial tentu wajib dilakukan. Akan tetapi, pembangunan fisik kembali dengan APBN menuntut dasar hukum dan audit publik yang jelas.
Negara memang harus hadir, tetapi kehadiran itu harus disertai prinsip keadilan dan transparansi. Bila langkah ini dilakukan tanpa investigasi menyeluruh, maka kehadiran negara justru menjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian fiskal (prudential principle). Dalam konteks tata kelola, setiap dana publik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat, bukan sekadar dijalankan atas nama “darurat.”
Empati yang tidak dibingkai akuntabilitas justru dapat menciptakan ketimpangan moral. Bayangkan jika semua lembaga yang lalai bisa meminta bantuan negara, maka APBN akan menjadi alat penyelamat sistem yang salah. Bukankah keadilan fiskal seharusnya menjaga agar uang rakyat digunakan untuk memperbaiki sistem, bukan menalangi kesalahan sistem itu sendiri?
3. Batas antara Lembaga Privat dan Kepentingan Publik
Pesantren memiliki peran strategis dalam pendidikan moral dan sosial. Namun secara hukum, pesantren tetap merupakan lembaga privat. Artinya, negara memiliki kewenangan terbatas dalam hal pembiayaan infrastruktur kecuali dalam program yang diatur Kementerian Agama. Ketika Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengambil alih pembangunan ulang, muncul pertanyaan: di mana batas yurisdiksi dan dasar hukumnya?
Kehadiran Menteri PU Dody Hanggodo yang menyatakan pembangunan ulang akan dibiayai dari APBN menandai niat baik, namun berpotensi membuka celah tumpang tindih anggaran antar kementerian. Secara administratif, langkah itu menyalahi prinsip efisiensi karena menempatkan program sosial ke dalam sektor konstruksi publik tanpa payung hukum eksplisit.
Ketika negara melangkahi batas itu, ia berisiko mengaburkan garis antara solidaritas sosial dan tanggung jawab kelembagaan. Sebab, keadilan fiskal bukan tentang seberapa besar empati pemerintah, melainkan seberapa tepat empati itu ditempatkan dalam sistem keuangan publik.
4. Dari Empati ke Reformasi: Pelajaran dari Tragedi
Tragedi Al-Khoziny seharusnya menjadi momentum pembenahan sistemik, bukan hanya proyek pembangunan ulang. Pemerintah dapat menjadikannya pintu masuk untuk melakukan audit konstruksi lembaga pendidikan keagamaan, memperkuat standar keamanan bangunan pesantren, dan mengedukasi pengelola tentang manajemen risiko.
Alih-alih menggelontorkan dana besar untuk satu lokasi, negara dapat membangun program nasional “Pesantren Aman Bangunan Selamat” dengan fokus pada pencegahan dan peningkatan standar teknis. Langkah seperti ini sejalan dengan prinsip reconstruction with responsibility, sebagaimana disampaikan Achmad Nur Hidayat.