Tragedi di Balik Rak Minimarket: Saat Amanah Kerja Berakhir Maut
“Kepercayaan adalah cahaya paling terang di ruang kerja—namun sekalinya padam, gelapnya bisa mematikan.”
Oleh Karnita
Ketika Kepercayaan di Tempat Kerja Menjadi Luka Kolektif
Siapa sangka, di antara rak-rak penuh kebutuhan harian dan senyum kasir yang ramah, tersimpan kisah kelam tentang pengkhianatan dan kekerasan? Pada 9 Oktober 2025, Pikiran-Rakyat.com memberitakan tragedi memilukan: pembunuhan sekaligus pemerkosaan terhadap karyawati minimarket bernama Dina Oktaviani (21) oleh atasannya sendiri, Heryanto (27). Kasus yang bermula dari Rest Area KM 72A Tol Cipularang itu bukan sekadar kriminalitas biasa—ia adalah potret rapuhnya nilai kemanusiaan di dunia kerja modern.
Kejadian ini sontak mengguncang publik. Bagaimana tidak, pelaku dan korban adalah rekan satu tim, bekerja di ruang yang sama, berbagi tanggung jawab dan rutinitas yang seharusnya membangun solidaritas. Namun, di balik seragam kerja dan rutinitas kasir, terselip dominasi, kesenjangan kuasa, dan krisis moral yang berujung maut. Inilah realitas yang menampar nurani kita: ketika ruang kerja kehilangan sisi etik dan empatinya.
Sebagai penulis, saya menilai tragedi ini penting dikaji lebih dalam. Bukan hanya karena aspek kriminalnya yang mencengangkan, tapi juga karena ia membuka tabir gelap relasi kerja yang timpang, lemahnya perlindungan bagi pekerja perempuan, dan absennya sistem pengawasan yang peka terhadap tanda-tanda kekerasan. Inilah alasan mengapa kasus ini tak boleh berlalu begitu saja.
1. Dari Rekan Kerja Menjadi Pelaku: Lenyapnya Batas Aman di Ruang Profesional
Kisah Dina Oktaviani dan Heryanto mengingatkan kita bahwa ruang kerja, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mencari nafkah, bisa berubah menjadi ruang ancaman. Hubungan atasan-bawahan yang semestinya berlandaskan profesionalisme dan saling hormat, ternyata bisa menjadi titik rawan penyalahgunaan kuasa. Dalam kasus ini, Heryanto memanfaatkan kedekatan strukturalnya untuk menjebak korban ke rumahnya dengan alasan pekerjaan.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja sering dilakukan oleh orang dengan posisi lebih tinggi. Sistem hierarki yang tidak transparan membuat korban cenderung takut bersuara. Ketika ketakutan dan ketimpangan dibiarkan, ruang kerja bisa menjadi ladang kekerasan yang tak terdeteksi.
Refleksi penting dari tragedi ini adalah perlunya menata ulang etika hubungan kerja. Pengawasan internal harus lebih manusiawi, dan pelatihan tentang etika serta kesetaraan gender mesti menjadi kewajiban, bukan formalitas. Ruang profesional seharusnya tumbuh dari saling hormat, bukan rasa takut.