Ketika 18 Gubernur Geruduk Menkeu, Ada Apa dengan Fiskal Daerah?
“Kebijakan yang bijak tak hanya soal angka, tapi rasa adil di baliknya.”
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketegangan Fiskal yang Menguak Luka Lama
Apakah wajar jika 18 gubernur dari berbagai provinsi menggeruduk Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa? Pertemuan yang terjadi pada Selasa, 7 Oktober 2025, sebagaimana diberitakan tirto.id dalam artikel berjudul “Cerita Lengkap & Penyebab 18 Gubernur Geruduk Menkeu Purbaya” (9 Oktober 2025), bukan sekadar pertemuan rutin. Ini adalah sinyal ketegangan baru antara pusat dan daerah, ketika suara ketimpangan fiskal kembali menggema.
Di tengah narasi kemandirian daerah, kebijakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 sebesar Rp269 triliun dibandingkan tahun sebelumnya terasa ironis. Pemerintah pusat memang menaikkan lagi menjadi Rp693 triliun setelah revisi, tetapi luka kepercayaan sudah terlanjur terbuka. Banyak daerah merasa “tercekik” oleh alokasi dana yang menyempit, sementara beban pembangunan kian berat.
Penulis tertarik menyoroti isu ini karena relevansinya sangat kuat dengan tema kemandirian fiskal dan keadilan pembangunan. Pemangkasan TKD bukan hanya soal hitungan anggaran, melainkan soal nasib ribuan proyek publik yang bergantung pada stabilitas transfer dana pusat. Ketika 18 gubernur bersuara serempak, publik patut bertanya: apakah ini sekadar keluhan teknis, atau gejala dari sistem desentralisasi fiskal yang mulai kehilangan maknanya?
1. Pemangkasan TKD dan Luka Fiskal yang Tak Kunjung Sembuh
Pemangkasan TKD dalam APBN 2026 menjadi Rp649,9 triliun—bahkan sempat turun hingga Rp269 triliun dibandingkan tahun sebelumnya—menjadi sumber keresahan daerah. Pemerintah memang beralasan bahwa efisiensi anggaran perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan fiskal nasional. Namun bagi banyak daerah, pemotongan itu seperti memotong urat nadi pembangunan.
Sebagian besar gubernur mengeluhkan pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) yang signifikan. Misalnya, Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyebut DBH di provinsinya berkurang hingga Rp3,5 triliun, menekan kemampuan daerah membiayai pembangunan infrastruktur dasar. Ini menunjukkan betapa rapuhnya struktur keuangan daerah yang masih bergantung pada transfer pusat.
Kondisi ini membuka luka lama: desentralisasi yang tidak seimbang. Di satu sisi, daerah diminta mandiri dan inovatif, namun di sisi lain, ruang fiskalnya semakin sempit. Paradoks ini menggambarkan kegagalan sistem desentralisasi fiskal untuk benar-benar memberi otonomi keuangan yang berkeadilan.
2. Beban Berat Daerah: Ketika PAD Tak Cukup Menambal
Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Al Haris dari Jambi, menegaskan bahwa pemangkasan TKD menekan ruang fiskal daerah, terutama dengan meningkatnya beban belanja pegawai dan gaji PPPK. Bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah, situasi ini seperti berjalan di atas tali: salah langkah bisa berakibat fatal.
Program-program strategis seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan berpotensi tersendat. Tanpa dana cukup, daerah terpaksa memangkas kegiatan pelayanan publik. Akibatnya, masyarakat di tingkat bawahlah yang paling terdampak oleh kebijakan yang seolah jauh di atas menara pusat kekuasaan.
Masalahnya bukan sekadar kurangnya dana, tetapi minimnya fleksibilitas fiskal. Pemerintah pusat kerap mengatur secara ketat penggunaan TKD, sehingga daerah tidak memiliki keleluasaan berinovasi. Akibatnya, semangat desentralisasi ekonomi berubah menjadi ketergantungan administratif yang melelahkan.
3. Respons Menkeu: Antara Teguran dan Janji Evaluasi
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyebut keberatan para gubernur “wajar” tetapi menekankan bahwa perbaikan harus dimulai dari kinerja serapan anggaran di daerah. Ia mengingatkan agar kepala daerah lebih transparan dan menghindari kebocoran dana. Pandangan ini benar adanya, namun tidak cukup menyentuh akar masalah: struktur fiskal nasional yang timpang.
Purbaya juga menyampaikan kemungkinan kenaikan TKD di pertengahan 2026, tergantung kondisi ekonomi dan realisasi pendapatan negara. Janji ini tentu memberi sedikit harapan, tetapi tanpa reformasi menyeluruh dalam mekanisme transfer dana, daerah tetap akan berada dalam posisi pasif menunggu belas kasih pusat.
Dalam konteks komunikasi publik, pernyataan Purbaya mencerminkan dua sisi: profesionalitas seorang teknokrat fiskal, dan jarak psikologis antara pusat dan daerah yang kian melebar. Keadilan fiskal tidak boleh hanya diukur dari efisiensi angka, tetapi dari rasa percaya yang tumbuh dari keterbukaan dan konsistensi kebijakan.
4. Antara Pusat dan Daerah: Dialog yang Perlu Diperbarui
Pertemuan 18 gubernur dengan Menkeu seharusnya tidak dibaca sebagai konfrontasi, melainkan sebagai panggilan untuk memperbarui dialog fiskal nasional. Setelah dua dekade lebih reformasi desentralisasi, Indonesia membutuhkan pola hubungan fiskal yang lebih dinamis, berbasis kebutuhan dan potensi daerah, bukan sekadar pembagian angka di tabel APBN.
Daerah dengan PAD kecil semestinya mendapat afirmasi fiskal lebih besar, bukan justru dikurangi. Di sisi lain, daerah kaya sumber daya alam seharusnya didorong untuk berinovasi dalam diversifikasi ekonomi, bukan terus bergantung pada DBH. Pemerintah pusat harus hadir sebagai mitra strategis, bukan “penentu nasib” tunggal.
Tanpa perbaikan pola komunikasi dan distribusi fiskal, kebijakan transfer dana akan terus menjadi sumber gesekan. Dalam hal ini, yang paling dirugikan bukan hanya pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat yang menanti manfaat pembangunan.
5. Refleksi: Membangun Keadilan Fiskal dari Daerah
Kasus ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali makna keadilan fiskal. Keadilan bukan berarti pembagian yang sama, melainkan pembagian yang proporsional dan berdampak. Daerah tertinggal perlu dukungan lebih agar dapat mengejar ketertinggalan, sementara daerah maju perlu diberi ruang untuk berinovasi tanpa belenggu birokrasi pusat.
Keadilan fiskal juga berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah pusat dan daerah harus berkomitmen membuka data anggaran secara real time agar publik bisa ikut mengawasi. Ini akan membangun kembali kepercayaan dan meminimalkan potensi kebocoran yang sering dijadikan alasan pemangkasan.
Sebagaimana diungkap ekonom publik A. C. Pigou, “Kebijakan ekonomi publik yang baik bukan yang paling efisien, tetapi yang paling manusiawi.” Maka, dalam konteks Indonesia hari ini, keadilan fiskal sejatinya adalah tentang mendistribusikan peluang hidup lebih layak bagi seluruh rakyat.
Penutup: Dari Geruduk ke Gotong Royong Fiskal
Protes 18 gubernur bukanlah bentuk perlawanan, melainkan seruan agar suara daerah lebih didengar. Dalam demokrasi fiskal yang sehat, pusat dan daerah seharusnya berjalan seiring, bukan saling menegur. Geruduk bukan simbol permusuhan, tapi panggilan untuk kolaborasi.
Kita berharap, janji evaluasi pertengahan 2026 tidak menjadi wacana yang tenggelam di antara laporan fiskal. Sebab seperti kata Bung Hatta, “Keadilan sosial tidak lahir dari niat baik, tetapi dari kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan.”
Disclaimer:
Artikel ini bersifat analisis opini berdasarkan pemberitaan publik dan sumber resmi. Tidak mewakili lembaga mana pun, serta ditulis untuk tujuan edukatif dan reflektif.
Daftar Pustaka:
- Haryono, Satrio Dwi. “Cerita Lengkap & Penyebab 18 Gubernur Geruduk Menkeu Purbaya.” tirto.id, 9 Oktober 2025. https://tirto.id
- Kementerian Keuangan RI. “APBN 2026: Ringkasan Kebijakan Fiskal dan TKD.” kemenkeu.go.id, 2025.
- Badan Anggaran DPR RI. “Notulen Rapat Pembahasan APBN 2026.” dpr.go.id, 18 September 2025.
- Kompas.com. “Pemerintah Daerah Keluhkan Pemangkasan Dana Transfer.” Kompas.com, 10 Oktober 2025.
- Tempo.co. “Menkeu Purbaya: Evaluasi TKD di Pertengahan 2026.” Tempo.co, 9 Oktober 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI