Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika 18 Gubernur Geruduk Menkeu, Ada Apa dengan Fiskal Daerah?

10 Oktober 2025   19:52 Diperbarui: 10 Oktober 2025   19:52 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika 18 Gubernur Geruduk Menkeu (Foto: Harian Fajar)

Daerah dengan PAD kecil semestinya mendapat afirmasi fiskal lebih besar, bukan justru dikurangi. Di sisi lain, daerah kaya sumber daya alam seharusnya didorong untuk berinovasi dalam diversifikasi ekonomi, bukan terus bergantung pada DBH. Pemerintah pusat harus hadir sebagai mitra strategis, bukan “penentu nasib” tunggal.

Tanpa perbaikan pola komunikasi dan distribusi fiskal, kebijakan transfer dana akan terus menjadi sumber gesekan. Dalam hal ini, yang paling dirugikan bukan hanya pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat yang menanti manfaat pembangunan.

5. Refleksi: Membangun Keadilan Fiskal dari Daerah

Kasus ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali makna keadilan fiskal. Keadilan bukan berarti pembagian yang sama, melainkan pembagian yang proporsional dan berdampak. Daerah tertinggal perlu dukungan lebih agar dapat mengejar ketertinggalan, sementara daerah maju perlu diberi ruang untuk berinovasi tanpa belenggu birokrasi pusat.

Keadilan fiskal juga berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah pusat dan daerah harus berkomitmen membuka data anggaran secara real time agar publik bisa ikut mengawasi. Ini akan membangun kembali kepercayaan dan meminimalkan potensi kebocoran yang sering dijadikan alasan pemangkasan.

Sebagaimana diungkap ekonom publik A. C. Pigou, “Kebijakan ekonomi publik yang baik bukan yang paling efisien, tetapi yang paling manusiawi.” Maka, dalam konteks Indonesia hari ini, keadilan fiskal sejatinya adalah tentang mendistribusikan peluang hidup lebih layak bagi seluruh rakyat.

Penutup: Dari Geruduk ke Gotong Royong Fiskal

Protes 18 gubernur bukanlah bentuk perlawanan, melainkan seruan agar suara daerah lebih didengar. Dalam demokrasi fiskal yang sehat, pusat dan daerah seharusnya berjalan seiring, bukan saling menegur. Geruduk bukan simbol permusuhan, tapi panggilan untuk kolaborasi.

Kita berharap, janji evaluasi pertengahan 2026 tidak menjadi wacana yang tenggelam di antara laporan fiskal. Sebab seperti kata Bung Hatta, “Keadilan sosial tidak lahir dari niat baik, tetapi dari kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan.”

Disclaimer:
Artikel ini bersifat analisis opini berdasarkan pemberitaan publik dan sumber resmi. Tidak mewakili lembaga mana pun, serta ditulis untuk tujuan edukatif dan reflektif.

Daftar Pustaka:

  1. Haryono, Satrio Dwi. “Cerita Lengkap & Penyebab 18 Gubernur Geruduk Menkeu Purbaya.” tirto.id, 9 Oktober 2025. https://tirto.id
  2. Kementerian Keuangan RI. “APBN 2026: Ringkasan Kebijakan Fiskal dan TKD.” kemenkeu.go.id, 2025.
  3. Badan Anggaran DPR RI. “Notulen Rapat Pembahasan APBN 2026.” dpr.go.id, 18 September 2025.
  4. Kompas.com. “Pemerintah Daerah Keluhkan Pemangkasan Dana Transfer.” Kompas.com, 10 Oktober 2025.
  5. Tempo.co. “Menkeu Purbaya: Evaluasi TKD di Pertengahan 2026.” Tempo.co, 9 Oktober 2025.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun