Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dari Curiga Menjadi Salut, Pelajaran dari Permintaan Maaf Suporter Garuda

9 Oktober 2025   21:00 Diperbarui: 9 Oktober 2025   21:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia kalah 2-3 dari Arab Saudi (9/10/2025), tapi peluang lolos Piala Dunia masih terbuka. (Dokumentasi Instagram Erick Thohir) 

Sebelum pertandingan, PSSI sempat melayangkan protes resmi kepada AFC terkait penunjukan perangkat wasit yang berasal dari Kuwait. Kekhawatiran itu rasional, mengingat sensitivitas hubungan antarnegara di kawasan Asia Barat. Namun, setelah pertandingan berakhir, PSSI justru menunjukkan sikap terpuji dengan menghormati keputusan AFC dan memuji kinerja Al-Ali.

Sekjen PSSI, Yunus Nusi, menyebut bahwa keputusan AFC adalah kewenangan resmi yang patut dihormati. Di sinilah terlihat kedewasaan organisasi dalam mengelola dinamika internasional. Daripada memperpanjang kecurigaan, PSSI memilih menampilkan ketenangan diplomatik.

Sikap ini memberikan teladan bahwa profesionalisme harus mengalahkan ego sektoral. Dalam diplomasi olahraga, integritas lebih penting dari hasil pertandingan. Dan bagi bangsa yang ingin maju, kemampuan menerima kenyataan dengan kepala tegak adalah bagian dari kematangan kolektif.

5. Sportivitas Sosial: Dari Lapangan ke Kehidupan Sehari-hari

Peristiwa permintaan maaf suporter kepada wasit memberi pesan moral yang melampaui sepak bola. Ia menunjukkan bahwa bangsa ini masih punya kemampuan untuk mawas diri, bahkan dalam situasi emosional. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, dan empati ternyata bisa tumbuh dari tribun stadion dan bergaung ke ruang sosial.

Ketika sportivitas menjadi nilai sosial, maka masyarakat sedang bergerak menuju kedewasaan moral. Tak hanya di olahraga, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari—dalam cara kita menilai orang lain, berkomentar di media sosial, hingga menyikapi perbedaan pandangan.

Dan mungkin, inilah kemenangan sejati yang jarang disorot media: kemenangan atas diri sendiri. Karena bangsa besar bukan hanya yang menuntut keadilan, tapi juga yang tahu kapan harus meminta maaf dengan tulus.

Penutup: Ketika Lapangan Mengajari Kita Rendah Hati

“Kemenangan sejati bukan ketika skor berpihak pada kita, tapi ketika hati kita berani mengakui siapa yang lebih layak.”

Laga Indonesia vs Arab Saudi, Selasa 19 November 2024 di GBK, menyisakan lebih dari sekadar hasil 2–3. Ia meninggalkan pelajaran penting tentang kejujuran, empati, dan keberanian untuk meminta maaf. Di tengah polarisasi dan tekanan sosial, publik Indonesia menunjukkan sisi terbaiknya—bahwa etika dan sportivitas masih hidup di tengah bisingnya dunia digital.

Wasit Ahmad Al-Ali, tanpa bermaksud jadi simbol apa pun, justru menjadi katalis kesadaran baru: bahwa keadilan bisa dipercaya, dan bahwa publik yang berani mengakui prasangkanya adalah tanda bangsa yang sedang tumbuh dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun