Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dari Curiga Menjadi Salut, Pelajaran dari Permintaan Maaf Suporter Garuda

9 Oktober 2025   21:00 Diperbarui: 9 Oktober 2025   21:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sini kita belajar bahwa trauma kolektif dapat membuat publik terlalu cepat menilai, bahkan sebelum bukti terlihat. Dalam konteks sosial yang lebih luas, ini seperti cermin perilaku masyarakat yang mudah curiga terhadap otoritas, padahal keadilan kadang hadir dari tempat yang tak kita sangka.

2. Etika Suporter: Ketika Netizen Menjadi Cermin Moral Bangsa

Salah satu hal paling menyentuh dari laga ini bukan skor pertandingan, melainkan permintaan maaf publik. Melalui platform X, ribuan suporter menulis pesan yang bernada rendah hati: “Maaf ya Pak Wasit, kami sempat curiga duluan, tapi keputusanmu malam ini fair banget.” Kalimat sederhana itu menjadi bukti kedewasaan baru dalam kultur digital kita.

Biasanya, media sosial hanya menjadi ajang amarah spontan tanpa refleksi. Namun kali ini, justru muncul empati dan pengakuan. Netizen menjadikan ruang digital bukan untuk melampiaskan frustrasi, melainkan untuk belajar mengakui kesalahan. Sebuah bentuk literasi moral yang jarang muncul di dunia maya yang serba cepat dan emosional.

Fenomena ini menegaskan bahwa sportivitas sejati tak berhenti di lapangan. Ia bisa menular ke publik yang menonton, berdiskusi, bahkan berkomentar. Ketika netizen belajar menahan diri, mengakui kekeliruan, dan memberikan apresiasi, di situlah moralitas publik menemukan bentuk terbarunya.

3. Wasit dan Wibawa Keadilan: Saat Fair Play Mengalahkan Bias

Timnas Indonesia kalah 2-3 dari Arab Saudi (9/10/2025), tapi peluang lolos Piala Dunia masih terbuka. (Dokumentasi Instagram Erick Thohir) 
Timnas Indonesia kalah 2-3 dari Arab Saudi (9/10/2025), tapi peluang lolos Piala Dunia masih terbuka. (Dokumentasi Instagram Erick Thohir) 

Selama bertahun-tahun, sosok wasit sering kali ditempatkan di posisi sulit—antara dicaci dan dipuja tergantung hasil pertandingan. Namun Al-Ali memperlihatkan bagaimana keadilan bisa menembus bias nasionalisme. Ia menjalankan tugas tanpa tunduk pada tekanan tuan rumah, tanpa pula berpihak pada tim tamu.

Dalam pertandingan penuh tensi itu, setiap keputusan krusial dijalankan dengan kejelasan dan wibawa. Dari pemberian penalti hingga pengendalian emosi pemain, semua berjalan di bawah kendali. Hasilnya, keadilan bukan lagi sekadar wacana, tapi bisa dirasakan bahkan oleh pihak yang kalah.

Keadilan seperti ini penting diinternalisasi bukan hanya di olahraga, tapi juga dalam tata kelola publik. Bahwa keputusan yang tegas, objektif, dan transparan akan selalu dihormati, bahkan ketika tidak menyenangkan semua pihak.

4. PSSI dan Diplomasi Etika: Dari Protes ke Penghormatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun