Bersih-bersih di Pajak: Integritas yang Tak Bisa Ditawar
“Kejujuran mungkin tampak sederhana, tapi di birokrasi, itu revolusi.”
Oleh Karnita
Ketegasan yang Sudah Lama Dinantikan
Apakah kita masih percaya bahwa birokrasi bisa benar-benar bersih dari praktik kecurangan? Pertanyaan itu kembali menggema setelah langkah tegas Kementerian Keuangan mencuat ke publik. Pada 8 Oktober 2025, melalui pemberitaan Pikiran Rakyat berjudul “Purbaya Dukung Pemecatan 26 Pegawai Dirjen Pajak: Sekarang Bukan Saatnya Main-main Lagi!”, publik menyaksikan sinyal perubahan nyata di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Langkah pemecatan 26 pegawai yang terbukti melakukan penyimpangan bukan sekadar tindakan administratif, tetapi simbol dari upaya serius mengembalikan kepercayaan publik. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pelanggaran berat seperti penerimaan uang di luar wewenang adalah tindakan yang tidak bisa diampuni. Di tengah situasi ekonomi yang menuntut efisiensi dan transparansi, keputusan ini menjadi oase di padang keletihan moral birokrasi.
Saya tertarik menyoroti isu ini karena ia bukan hanya soal disiplin pegawai, tetapi juga refleksi tentang kejujuran sebagai modal sosial bangsa. Ketegasan yang ditunjukkan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto adalah momentum penting untuk membangun budaya kerja yang berintegritas. Saat publik menuntut keteladanan, inilah waktu bagi lembaga pajak menunjukkan bahwa reformasi birokrasi bukan jargon, melainkan tindakan nyata.
1. Saatnya Berhenti “Main-main” dengan Kepercayaan Publik
Ucapan Purbaya, “Sekarang bukan saatnya main-main lagi,” menjadi kalimat kunci yang menggugah. Dalam birokrasi yang kerap diselimuti formalitas dan eufemisme, keberanian untuk berkata tegas adalah bentuk tanggung jawab moral. Kepercayaan publik terhadap lembaga pajak adalah modal utama keberlanjutan fiskal negara—dan sekali rusak, sulit diperbaiki.
Langkah pemecatan 26 pegawai DJP adalah sinyal bahwa pemerintah tidak lagi mentoleransi pelanggaran yang mencederai publik. Di tengah tuntutan transparansi, tindakan ini menciptakan preseden baru: keadilan administratif harus berjalan tanpa pandang bulu. Tak lagi relevan bagi pejabat untuk berlindung di balik jabatan.
Refleksinya jelas: reformasi birokrasi harus dimulai dari dalam. Kita tidak bisa membangun negara bersih dengan tangan yang kotor. Dan publik, pada akhirnya, berhak mendapatkan bukti, bukan sekadar janji.