Ketika Mikrofon Dibatasi, Demokrasi Ikut Terguncang
“Menjaga kemerdekaan pers berarti menjaga nurani bangsa.”
Oleh Karnita
Hak Bertanya dan Batas Kekuasaan
Apakah bertanya kini menjadi tindakan yang berisiko di ruang publik? Pertanyaan itu mencuat setelah seorang wartawan CNN Indonesia kehilangan hak liputan usai menanyakan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana, Sabtu, 27 September 2025. Peristiwa itu sontak menimbulkan tanya lebih besar: apakah ruang demokrasi kita masih ramah terhadap suara kritis?
Kasus ini mengguncang ekosistem jurnalisme nasional karena menyentuh inti persoalan: kebebasan bertanya adalah fondasi demokrasi. Ketika sebuah pertanyaan dianggap ancaman, maka kita perlu bertanya balik—di mana letak ruang kebebasan pers yang dijanjikan konstitusi?
Penulis tertarik membahasnya karena peristiwa ini bukan sekadar polemik antara birokrasi dan media, melainkan cermin relasi kuasa dalam demokrasi modern. Relevansinya kian kuat karena publik bergantung pada media untuk memahami kebijakan negara. Jika mikrofon wartawan dibatasi, maka suara publik ikut teredam.
Pers Sebagai Penjaga Nalar Publik
Kemerdekaan pers tidak hanya soal kebebasan menulis, melainkan hak publik untuk tahu. Seperti ditegaskan Ketua Umum PWI, Akhmad Munir, tindakan mencabut kartu liputan wartawan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 4 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Artinya, pelanggaran terhadap pers juga berarti pelanggaran terhadap konstitusi.
Pers menjadi penjaga nalar publik: ia bertanya, mengonfirmasi, dan menantang narasi resmi agar tidak menjadi dogma. Dalam konteks ini, tindakan membatasi akses wartawan berpotensi menimbulkan efek jera yang membahayakan ekosistem media nasional.
Sebagaimana diingatkan banyak pakar komunikasi, demokrasi tanpa kebebasan pers akan melahirkan pemerintahan yang rapuh dan publik yang apatis. Ketika ruang tanya disempitkan, ruang kepercayaan pun ikut menyempit.