Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bijak Menyeruput Kuah: Antara Kenikmatan dan Kesehatan

5 Oktober 2025   14:32 Diperbarui: 5 Oktober 2025   14:32 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bijak Menyeruput Kuah: Antara Kenikmatan dan Kesehatan
 "Nikmat boleh dikecap, tapi tubuh tetap perlu dijaga." --- Pepatah Timur 

Oleh Karnita

Menikmati Rasa, Menantang Risiko

Pernahkah Anda menyesap kuah mi instan hingga tetes terakhir, sembari berpikir itu bentuk "penghargaan" pada rasa? Para ahli mengingatkan bahwa kenikmatan sederhana itu bisa membawa bahaya yang tak kasatmata. Hasil penelitian dari Journal of Nutrition, Health and Aging  menemukan adanya hubungan antara  kebiasaan minum kuah berlebih dengan risiko kanker lambung dan tekanan darah tinggi.

Kebiasaan serupa bukan hanya khas Korea, tetapi juga marak di Indonesia---terutama di kalangan muda yang gemar mi instan pedas dengan nasi hangat. Pola ini menunjukkan bahwa budaya makan kini sering dikalahkan oleh selera dan kepraktisan. Padahal, di balik kelezatan itu tersembunyi ancaman serius: asupan natrium yang melampaui batas aman tubuh.

Penulis tertarik menyoroti isu ini bukan hanya karena relevansinya dengan pola makan urban, tetapi juga karena pesan reflektifnya: seberapa jauh kita memahami konsekuensi dari setiap sendok kuah yang kita nikmati? Artikel ini hendak mengupas bagaimana kenikmatan bisa berubah menjadi risiko---dan bagaimana kesadaran kecil bisa menyelamatkan generasi dari penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah.

1. Budaya Kuah dan Tradisi yang Menjerat

Korea dan Jepang dikenal dengan kuliner berkuah yang hangat dan menggugah selera. Namun, di balik tradisi itu, tersimpan statistik yang mengkhawatirkan: kedua negara mencatat angka kanker lambung tertinggi di dunia. Dalam konteks budaya, kuah dianggap lambang kehangatan dan keharmonisan, tapi ironisnya justru menyimpan racun halus bernama natrium.

Fenomena serupa mulai menjalar ke Indonesia melalui globalisasi cita rasa dan tren kuliner instan. Mi kuah pedas, ramen, dan sup asin menjadi favorit lintas usia, seolah tak lengkap jika tak dihabiskan hingga dasar mangkuk. Kebiasaan ini menunjukkan betapa selera seringkali mengalahkan akal sehat, bahkan saat tubuh memberi sinyal bahaya.

Makan bukan lagi ritual keseimbangan, melainkan perburuan sensasi. Di sinilah kritik budaya pangan menjadi penting: bahwa tradisi dan kenikmatan harus disertai kesadaran nutrisi. Tanpa itu, budaya makan bisa berubah menjadi jebakan yang perlahan melumpuhkan kesehatan masyarakat.

2. Garam dan Kuah: Kombinasi yang Mengikis Lambung

Kandungan natrium dalam kuah mi instan dapat merusak lapisan pelindung lambung, menyebabkan peradangan kronis, dan pada jangka panjang berpotensi memicu kanker. Para peneliti di Universitas Yamagata, Jepang, mencatat bahwa mereka yang mengonsumsi kuah lebih dari tiga kali seminggu memiliki risiko kematian 1,5 kali lebih tinggi akibat penyakit lambung. Fakta ini bukan sekadar angka, melainkan alarm keras bagi kebiasaan yang tampak sepele.

Terlalu banyak garam menyebabkan tubuh menahan cairan, meningkatkan tekanan darah, dan mengganggu fungsi ginjal. Dalam konteks masyarakat urban, di mana pola makan tinggi sodium dan rendah serat sudah menjadi norma, ancaman ini semakin besar. Garam yang semestinya memperkaya rasa malah berubah menjadi "racun putih" jika dosisnya tak terkendali.

Masalahnya, rasa asin cenderung adiktif. Tubuh terbiasa dan menuntut lebih, seperti candu yang tersembunyi di balik kenikmatan. Di sinilah letak paradoks modernitas: kita tahu bahaya, tapi tak mampu berhenti.

3. Mi dan Nasi: Dua Karbohidrat, Satu Kesalahan Kolektif

Kombinasi mi instan dengan nasi mungkin tampak mengenyangkan, tetapi sebenarnya mempercepat lonjakan gula darah. Kedua bahan ini sama-sama mengandung karbohidrat olahan dengan indeks glikemik tinggi. Ketika dikonsumsi bersamaan, tubuh menerima "banjir glukosa" yang memaksa pankreas bekerja ekstra, meningkatkan risiko diabetes tipe 2.

Dalam budaya populer, kebiasaan ini dianggap "trik hemat dan nikmat". Padahal, secara gizi, itu bencana kecil yang berulang setiap kali mangkuk kuah habis tanpa sisa. Ahli gizi menyarankan agar masyarakat memilih salah satu sumber karbohidrat saja, dan menambah sayuran berserat untuk menyeimbangkan komposisi.

Refleksinya jelas: kesehatan bukan sekadar urusan medis, tetapi juga kesadaran budaya. Selama pola pikir "asal kenyang" mendominasi, maka kebiasaan kecil seperti mencampur nasi ke kuah mi akan terus memperpanjang daftar penyakit kronis di usia muda.

4. Strategi Menyiasati Nafsu Kuah

Mengubah kebiasaan bukan perkara mudah, tapi bisa dimulai dari langkah sederhana. Para ahli merekomendasikan pola makan yang dimulai dari sayuran, lalu protein, baru karbohidrat---untuk menahan laju penyerapan gula. Selain itu, mengonsumsi makanan dalam waktu minimal 20 menit dapat membantu tubuh mengenali rasa kenyang alami, sehingga porsi kuah bisa dikurangi tanpa merasa kehilangan.

Kampanye publik tentang bahaya garam perlu disampaikan dengan pendekatan yang lebih empatik dan kontekstual. Bukan dengan menakut-nakuti, tetapi dengan mengedukasi tentang rasa dan keseimbangan. Misalnya, mengganti kaldu bubuk dengan rempah alami atau menambahkan jamur dan sayur sebagai penambah cita rasa tanpa natrium tinggi.

Intinya, kenikmatan bukan harus dihapus, melainkan ditata ulang. Kuah bisa tetap dinikmati, asal dengan kesadaran dan kendali. Sebab, kesehatan adalah seni menakar antara rasa dan batas.

5. Dari Dapur ke Kesadaran Kolektif

Kebiasaan makan adalah cermin peradaban. Saat masyarakat mulai sadar bahwa rasa gurih tidak harus berarti asin, dan kenyang tidak harus berarti berlebih, maka perubahan besar telah dimulai. Pemerintah, media, dan komunitas kuliner bisa berperan dalam edukasi publik tentang pola makan sadar garam.

Sekolah dan keluarga juga dapat menjadi ruang pembelajaran gizi sederhana---misalnya dengan mengenalkan rasa alami bahan segar tanpa tambahan penyedap. Edukasi ini akan menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas berpikir, tetapi juga cerdas mengunyah.

Mungkin terdengar sepele, tapi perubahan kecil seperti menyisakan sedikit kuah bisa menjadi simbol revolusi kesehatan yang senyap namun berdampak panjang.

Kesadaran Rasa, Keselamatan Jiwa

"Kesehatan bukan soal apa yang kita makan, tapi seberapa bijak kita menikmatinya." --- Anonim

Mengutip pepatah Jepang, "Hara wa jinsei no moto"---perut adalah asal kehidupan. Apa yang kita masukkan ke dalamnya akan menentukan arah umur dan mutu hidup kita. Karena itu, setiap sendok kuah adalah pilihan antara kenikmatan sesaat atau kesehatan jangka panjang.

Menikmati makanan sejatinya adalah merayakan hidup, bukan menantang ajal. Maka, biarlah rasa gurih tetap jadi bagian dari budaya, tapi dengan kesadaran bahwa keseimbangan adalah bumbu utama kesehatan. Seperti kata Hippocrates, "Let food be thy medicine, and medicine be thy food."

Disclaimer:
Artikel ini bersifat edukatif, bukan pengganti konsultasi medis profesional. Untuk diagnosis dan penanganan kesehatan, silakan berkonsultasi langsung dengan dokter atau ahli gizi.

Daftar Pustaka:

  1. Republika.co.id. (2025, 5 Oktober). Menikmati Kuah Makanan Bisa Picu Risiko Kanker Lambung. Diakses dari https://www.republika.co.id
  2. The Korea Times. (2025, 5 Oktober). High Soup Intake Linked to Stomach Cancer Risk. Diakses dari https://www.koreatimes.co.kr
  3. Journal of Nutrition, Health and Aging. (2024). Soup Consumption and Gastric Cancer Mortality: A Longitudinal Study.
  4. Yamagata University Research Center. (2024). Dietary Sodium and Gastric Health in East Asia.
  5. Kompas.com. (2025, 6 Oktober). Ahli Ingatkan Bahaya Garam Berlebih dalam Pola Makan Harian. Diakses dari https://www.kompas.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun