Pertanyaan penting: siapa sebenarnya yang mendapat manfaat dari pembakaran gerbang tol pada 29 Agustus 2025? Apakah aspirasi tersampaikan lebih jelas, atau justru semakin kabur?
Yang jelas, kerugian ditanggung oleh publik luas. Negara harus mengeluarkan biaya besar untuk perbaikan. Warga kehilangan waktu, tenaga, dan kenyamanan. Dunia usaha merugi karena distribusi terhambat.
Sedangkan pihak yang melakukan pembakaran, alih-alih mendapat simpati, justru menghadapi potensi kriminalisasi dan stigma sosial. Kerugian jauh lebih besar daripada keuntungan.
5. Jalan Tengah: Aspirasi Tanpa Destruksi
Sejarah mencatat, protes damai kerap lebih efektif daripada aksi destruktif. Gandhi dengan satyagraha-nya, Martin Luther King dengan “peaceful protest”, memberi teladan bagaimana aspirasi tetap bisa mengguncang kekuasaan tanpa harus merusak.
Di Indonesia, ruang demokrasi terbuka lebar. Jalur hukum, diskusi publik, hingga media sosial dapat menjadi wadah penyaluran aspirasi yang jauh lebih konstruktif. Yang dibutuhkan adalah konsistensi dan strategi komunikasi yang efektif.
Demo yang cerdas adalah demo yang membuat lawan bicara terpojok oleh argumen, bukan demo yang membuat rakyat jelata terpojok oleh asap dan kemacetan.
Refleksi atas Harga Sebuah Aksi
Kasus pembakaran gerbang tol pada 29 Agustus 2025 adalah cermin bagaimana kemarahan bisa mengaburkan rasionalitas. Aspirasi yang sah menjadi kehilangan legitimasi ketika disampaikan dengan cara destruktif.
Kita semua sepakat, menyuarakan pendapat adalah hak, tetapi mengorbankan warga lain adalah kesalahan. Seperti kata Nelson Mandela, “Kebebasan sejati tidak hanya berarti bebas dari rantai, tetapi juga hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kebebasan orang lain.” Wallahu a'lam.