Ketika Demo Membakar Tol, Macet Bisa Membakar Kesabaran Warga!
"Kemarahan yang tak terkendali sering kali berakhir merugikan mereka yang seharusnya diperjuangkan."
Oleh Karnita
Demo, Api, dan Harga yang Kita Bayar
Apa yang sebenarnya terjadi ketika sebuah demo berujung pada pembakaran fasilitas publik? Pertanyaan ini kembali mengemuka usai peristiwa pada 29 Agustus 2025, ketika gerbang tol di sebuah kota besar terbakar akibat ulah massa. Aksi yang semula dimaksudkan sebagai saluran aspirasi berubah menjadi bumerang, menambah panjang daftar kerugian sosial.
Tak sedikit warga yang menjadi korban tidak langsung. Kemacetan parah melanda, perjalanan warga terganggu, dan roda ekonomi tersendat. Sementara itu, para pengguna tol hanya bisa mengelus dada, menanggung dampak dari keputusan impulsif segelintir pihak.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa demonstrasi, meski sah secara konstitusi, tetap membawa risiko besar bila dilakukan tanpa kendali. Pertanyaannya, apakah kerugian ini sepadan dengan tujuan yang ingin dicapai?
1. Aksi Protes: Hak yang Sah, tapi Ada Batasnya
Demonstrasi merupakan salah satu hak fundamental dalam demokrasi. Konstitusi memberi ruang bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat secara terbuka, termasuk lewat aksi massa. Dalam banyak kasus, demo bisa menjadi pemicu perubahan penting bagi kebijakan publik.
Namun, batas kebebasan itu jelas: tidak boleh merusak hak orang lain. Ketika fasilitas umum dibakar, hak warga lain untuk mendapat layanan transportasi ikut terenggut. Di titik ini, protes yang semula sah berubah menjadi pelanggaran.
Sayangnya, kesadaran ini kerap kalah oleh emosi. Aksi protes yang semestinya mengusung argumen justru dikuasai oleh simbol-simbol destruktif yang meninggalkan jejak panjang bagi masyarakat.
2. Gerbang Tol: Infrastruktur Vital, Bukan Sekadar Beton
Peristiwa 29 Agustus 2025 menunjukkan betapa rapuhnya fasilitas publik di hadapan amarah massa. Gerbang tol bukan sekadar bangunan. Ia adalah simpul pergerakan jutaan warga yang menggantungkan hidup pada kelancaran transportasi.
Pembakaran fasilitas ini berarti memutus urat nadi ekonomi secara langsung. Setiap menit kemacetan berarti kerugian nyata. Truk logistik terlambat mengirim barang, pekerja kehilangan jam produktif, bahkan pasien yang sedang menuju rumah sakit bisa terjebak di tengah antrean. Dampak riilnya jauh lebih besar daripada yang terlihat.
Di sinilah letak ironinya. Infrastruktur yang dibangun dengan dana rakyat justru dihancurkan oleh amarah sebagian rakyat sendiri. Seakan-akan perjuangan kehilangan pijakan rasional.
3. Kemacetan: Luka Sosial yang Tak Terlihat
Macet bukan sekadar antrean panjang kendaraan. Ia menyulut frustrasi, menggerus kesabaran, dan merusak kualitas hidup warga. Dalam kasus demo pembakaran tol, macet menjadi dampak paling nyata dan menyiksa.
Warga yang hanya ingin pulang ke rumah atau bekerja harus rela terjebak berjam-jam. Kesabaran habis, energi terkuras, bahkan emosi mudah tersulut. Kemacetan akhirnya menjadi luka sosial yang menular ke ruang-ruang domestik dan relasi antarwarga.
Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini bisa menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap aksi-aksi protes. Alih-alih mendapat simpati, gerakan massa justru dianggap mengganggu keseharian rakyat.
4. Siapa yang Untung, Siapa yang Rugi?
Pertanyaan penting: siapa sebenarnya yang mendapat manfaat dari pembakaran gerbang tol pada 29 Agustus 2025? Apakah aspirasi tersampaikan lebih jelas, atau justru semakin kabur?
Yang jelas, kerugian ditanggung oleh publik luas. Negara harus mengeluarkan biaya besar untuk perbaikan. Warga kehilangan waktu, tenaga, dan kenyamanan. Dunia usaha merugi karena distribusi terhambat.
Sedangkan pihak yang melakukan pembakaran, alih-alih mendapat simpati, justru menghadapi potensi kriminalisasi dan stigma sosial. Kerugian jauh lebih besar daripada keuntungan.
5. Jalan Tengah: Aspirasi Tanpa Destruksi
Sejarah mencatat, protes damai kerap lebih efektif daripada aksi destruktif. Gandhi dengan satyagraha-nya, Martin Luther King dengan “peaceful protest”, memberi teladan bagaimana aspirasi tetap bisa mengguncang kekuasaan tanpa harus merusak.
Di Indonesia, ruang demokrasi terbuka lebar. Jalur hukum, diskusi publik, hingga media sosial dapat menjadi wadah penyaluran aspirasi yang jauh lebih konstruktif. Yang dibutuhkan adalah konsistensi dan strategi komunikasi yang efektif.
Demo yang cerdas adalah demo yang membuat lawan bicara terpojok oleh argumen, bukan demo yang membuat rakyat jelata terpojok oleh asap dan kemacetan.
Refleksi atas Harga Sebuah Aksi
Kasus pembakaran gerbang tol pada 29 Agustus 2025 adalah cermin bagaimana kemarahan bisa mengaburkan rasionalitas. Aspirasi yang sah menjadi kehilangan legitimasi ketika disampaikan dengan cara destruktif.
Kita semua sepakat, menyuarakan pendapat adalah hak, tetapi mengorbankan warga lain adalah kesalahan. Seperti kata Nelson Mandela, “Kebebasan sejati tidak hanya berarti bebas dari rantai, tetapi juga hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kebebasan orang lain.” Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka
- Kompas.com. (2025). Gerbang tol terbakar saat demo, kemacetan parah melanda.
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28.
- Mandela, N. (1995). Long Walk to Freedom. London: Abacus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI