Sayangnya, kesadaran ini kerap kalah oleh emosi. Aksi protes yang semestinya mengusung argumen justru dikuasai oleh simbol-simbol destruktif yang meninggalkan jejak panjang bagi masyarakat.
2. Gerbang Tol: Infrastruktur Vital, Bukan Sekadar Beton
Peristiwa 29 Agustus 2025 menunjukkan betapa rapuhnya fasilitas publik di hadapan amarah massa. Gerbang tol bukan sekadar bangunan. Ia adalah simpul pergerakan jutaan warga yang menggantungkan hidup pada kelancaran transportasi.
Pembakaran fasilitas ini berarti memutus urat nadi ekonomi secara langsung. Setiap menit kemacetan berarti kerugian nyata. Truk logistik terlambat mengirim barang, pekerja kehilangan jam produktif, bahkan pasien yang sedang menuju rumah sakit bisa terjebak di tengah antrean. Dampak riilnya jauh lebih besar daripada yang terlihat.
Di sinilah letak ironinya. Infrastruktur yang dibangun dengan dana rakyat justru dihancurkan oleh amarah sebagian rakyat sendiri. Seakan-akan perjuangan kehilangan pijakan rasional.
3. Kemacetan: Luka Sosial yang Tak Terlihat
Macet bukan sekadar antrean panjang kendaraan. Ia menyulut frustrasi, menggerus kesabaran, dan merusak kualitas hidup warga. Dalam kasus demo pembakaran tol, macet menjadi dampak paling nyata dan menyiksa.
Warga yang hanya ingin pulang ke rumah atau bekerja harus rela terjebak berjam-jam. Kesabaran habis, energi terkuras, bahkan emosi mudah tersulut. Kemacetan akhirnya menjadi luka sosial yang menular ke ruang-ruang domestik dan relasi antarwarga.
Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini bisa menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap aksi-aksi protes. Alih-alih mendapat simpati, gerakan massa justru dianggap mengganggu keseharian rakyat.
4. Siapa yang Untung, Siapa yang Rugi?