Bahasa Isyarat, Jembatan Hati di Secangkir Kopi
“Kesunyian bukan penghalang untuk menyeduh mimpi besar, sebab bahasa hati selalu menemukan jalannya.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah sunyi selalu identik dengan keterbatasan? Pertanyaan itu menggugah ketika membaca berita berjudul Hari Bahasa Isyarat Internasional, Jalan Sunyi Teman Tunarungu Raih Mimpi Besar yang dimuat di Republika, 26 April 2025. Laporan ini menyoroti perjuangan barista tunarungu di Difabis Coffee and Tea, Jakarta, yang justru menjadikan kesunyian sebagai jalan meraih cita-cita.
Kisah ini hadir tepat di momentum penting, yakni Hari Bahasa Isyarat Internasional. Perayaan ini bukan sekadar simbol, melainkan refleksi atas perjuangan panjang penyandang disabilitas dalam menembus batas-batas sosial. Artikel ini menarik perhatian penulis karena menggambarkan inklusi nyata yang hidup di ruang publik.
Urgensi pemberitaan ini sangat terasa di tengah diskursus tentang kesetaraan kerja bagi difabel. Bagaimana tunarungu berdaya melalui secangkir kopi memberikan inspirasi luas. Maka, penting bagi kita mengulas lebih dalam tentang nilai, kritik, dan refleksi dari kisah ini.
1. Difabis Coffee: Ruang Inklusi dari Jalan Sunyi
Difabis Coffee and Tea hadir bukan sekadar kafe, melainkan simbol inklusi sosial. Para barista tunarungu yang bekerja di sana menjadi bukti bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi kompetensi dan kreativitas. Program pemberdayaan ini merupakan inisiatif BAZNAS (BAZIS) Provinsi Jakarta untuk mendorong kemandirian difabel.
Di balik secangkir kopi yang tersaji, terdapat pesan bahwa kesempatan kerja harus adil bagi semua. Tidak ada diskriminasi, tidak ada batasan, yang ada justru kesetaraan. Inilah wajah baru dunia kerja yang ramah terhadap tunarungu.
Kritiknya, ruang-ruang inklusi masih terbatas pada proyek tertentu. Perlu keberlanjutan agar tidak sekadar menjadi pencitraan. Refleksinya, setiap sektor bisa meniru praktik baik ini sebagai langkah kecil menuju perubahan besar.
2. Bahasa Isyarat sebagai Jembatan Hati
Bahasa isyarat menjadi medium utama komunikasi antara barista tunarungu dan pelanggan. Walau tanpa suara, percakapan tetap hangat dan bermakna. Pelanggan justru menganggap pengalaman ini unik dan mendidik.
Bahasa isyarat tidak sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan hati. Ia menghubungkan dua dunia yang tampak berbeda, namun sesungguhnya sejajar. Kepekaan dan kesabaran menjadi nilai yang lahir dari interaksi ini.
Namun, kritik penting muncul ketika masih banyak orang yang belum memahami bahasa isyarat. Minimnya literasi ini bisa menjadi penghalang. Refleksinya, perlu ada kampanye berkelanjutan agar masyarakat luas lebih akrab dengan bahasa isyarat.
3. Mimpi Besar di Balik Kesunyian
Sosok Fajar Malik, barista berusia 27 tahun, memberi teladan tentang semangat meraih mimpi. Meski hidup dalam kesunyian, ia bertekad suatu hari memiliki kafe sendiri. Kesunyian baginya bukan penghalang, melainkan ruang ketenangan untuk berpikir.
Kisah Fajar menegaskan bahwa tunarungu punya mimpi sama besar dengan siapa pun. Mereka ingin diakui, dihargai, dan diberi kesempatan. Kesempatan inilah yang kerap terhalang oleh stigma sosial.
Refleksinya, dukungan masyarakat dan negara harus nyata dalam membuka jalan. Jangan biarkan mimpi besar itu terhenti hanya karena keterbatasan fasilitas dan pemahaman publik.
4. Peran Negara dan Regulasi Inklusi
Kehadiran Komisi Nasional Disabilitas (KND) menjadi tonggak penting dalam memperkuat posisi difabel, termasuk tunarungu. Sejak lahir pada 2021, KND mendorong perusahaan lebih terbuka mempekerjakan mereka. Hal ini sesuai amanat UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Namun, implementasi regulasi masih kerap tersendat. Banyak perusahaan yang belum siap menyediakan juru bahasa isyarat atau fasilitas pendukung lain. Padahal, hal ini merupakan kewajiban, bukan pilihan.
Refleksinya, koordinasi lintas lembaga harus diperkuat. Negara tidak boleh absen dalam memastikan kesetaraan kesempatan kerja bagi tunarungu. Hanya dengan begitu inklusi benar-benar hidup.
5. Kopi, Kesetaraan, dan Harapan Baru
Secangkir kopi di Difabis menyimpan makna lebih dari sekadar minuman. Ia simbol kesetaraan, perjuangan, dan jembatan menuju masa depan. Para pelanggan pun pulang dengan pengalaman yang lebih kaya.
Pesan pentingnya, dunia kerja harus merangkul semua, tanpa terkecuali. Tunarungu bukan objek belas kasihan, melainkan subjek yang berdaya. Inilah paradigma baru yang perlu ditanamkan.
Refleksinya, kisah ini mengajarkan kita tentang kesabaran, keberanian, dan pengakuan. Harapan baru lahir dari kesunyian, menyapa dunia dengan cara yang sederhana namun kuat.
Penutup
Kisah Difabis Coffee menunjukkan bahwa kesunyian tidak menghalangi seseorang meraih cita-cita. Barista tunarungu mengajarkan kita arti kesetaraan dan ketekunan. Dari secangkir kopi, lahir refleksi tentang inklusi yang sejati.
Sebagaimana kata pepatah, “Kesunyian sering kali lebih fasih berbicara dibanding keramaian.” Maka, jangan pernah meremehkan bahasa isyarat hati yang lahir dari kesunyian. Justru dari situlah harapan tumbuh.
Disclaimer: Artikel ini ditulis untuk tujuan edukasi dan refleksi sosial, tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun.
Daftar Pustaka
- Republika. (2025, 26 April). Hari Bahasa Isyarat Internasional, Jalan Sunyi Teman Tunarungu Raih Mimpi Besar. Diakses dari: https://www.republika.co.id
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
- Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas.
- Komisi Nasional Disabilitas. (2022). Laporan Tahunan KND. Jakarta: KND.
- BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta. (2024). Program Difabis Coffee and Tea. Jakarta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI